"Harga cokelat melambung, tapi kenapa di saat dunia meratap, petani kakao di Indonesia malah senyum-senyum?"
Pernah merasa kantong jebol cuma buat beli sebatang cokelat? Kalau iya, selamat, kita senasib.
Dulu, cokelat itu cemilan gampangan, sekarang harganya bikin kita mikir-mikir lagi. Sebatang cokelat yang dulu cuma belasan ribu, sekarang sudah merangkak naik seolah dia punya gaji dua digit.
Kalau sudah begini, kita cuma bisa ngedumel sambil berharap harga kembali normal. Tapi, rupanya keluhan kita ini bukan hal sepele.
Ada yang bilang ini adalah tanda-tanda "kiamat cokelat". Istilahnya seram, tapi kejadiannya nyata. Seolah-olah Tuhan sudah lelah dengan kelakuan kita dan mencabut cokelat dari muka bumi.
Kiamat Cokelat Bukan Sekadar Isu Lingkungan
Jangan kira ini cuma isu sepele di TikTok atau celotehan para tukang ramal. Ini serius.
Jauh di sana, di pusat peradaban kakao dunia (Pantai Gading dan Ghana) petani-petani sedang menghadapi masalah besar. Perubahan iklim membuat cuaca jadi tak terduga, bikin pohon kakao stres dan gampang sakit.
Penyakitnya juga tak main-main, ada yang namanya swollen shoot. Ini penyakit viral yang bikin pohon kakao bengkak-bengkak, merusak daunnya, lalu pelan-pelan membunuh tanaman.
Dikutip dari Forest Digest, fenomena ini bukan sekadar gagal panen musiman, tapi ancaman nyata yang bisa memangkas produksi global secara permanen.
Akibatnya bisa ditebak, pasokan biji kakao menyusut drastis. Hukum ekonomi paling sederhana pun berlaku. Permintaan tetap tinggi, sementara barangnya langka. Tentu saja, harganya jadi melonjak tak terkendali.