Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kata Persetujuan Seks Itu Sensitif, Lebih Sensitif dari Urusan Utang

13 September 2025   08:10 Diperbarui: 12 September 2025   07:10 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari tradisional Bali tempo dulu (Sumber: Koropak.co.id)

"Siapa sangka, cuma gara-gara satu kata, kita jadi tahu kalau negara ini masih bingung membedakan urusan kasur dengan urusan hukum."

Dulu, saya kira yang paling sensitif itu cuma masalah utang. Giliran nagih, semua bisa berubah jadi drama Korea. Tapi ternyata, ada satu kata yang jauh lebih sakral, lebih berbahaya, dan bisa bikin seisi negeri ribut. Kata itu: persetujuan.

Di negeri ini, kata "persetujuan" alias consent bisa jadi hantu yang bikin bulu kuduk merinding. Seolah-olah, kata itu baru saja mendarat dari planet asing, membawa ajaran sesat yang merusak moral bangsa. Padahal, kita ini hidup di atas tanah yang sejarahnya sudah sangat akrab dengan berbagai bentuk persetujuan. Mau jadi apa, mau menikah sama siapa, bahkan mau menari apa, semua butuh persetujuan. Jadi, kenapa kok pas ngomongin persetujuan yang satu ini, semua jadi serba panik?

Ternyata, perdebatan ini bukan cuma soal kata. Ini adalah cerminan dari pertarungan dua paradigma besar yang lagi tarik-menarik di Indonesia: antara dogma moral-religius dan kebutuhan akan perlindungan hukum.

Persetujuan dan Ingatan Kolektif yang Sengaja Dihapus

Ada anggapan kalau persetujuan itu barang impor yang dibawa oleh kaum liberal. Argumen ini dangkal dan melecehkan sejarah. Kalau mau jujur, kita ini punya tradisi yang menunjukkan bahwa konsep persetujuan bukan hal baru.

Narasi yang menolak "sexual consent" justru tidak sesuai dengan kenyataan. Dulu, masyarakat kita tidak se-monolitik itu. Ambil saja contoh, ada konsep "rabi" dalam masyarakat Jawa Kuno, di mana pernikahan bukan sekadar ikatan hukum, tapi juga simbol persatuan yang didasari kesuburan dan kesejahteraan. Ritual-ritual kesuburan, seperti tarian atau upacara yang melibatkan interaksi intim, seringkali dilakukan dengan pemahaman kolektif yang mendalam, bukan semata-mata paksaan. Ini menunjukkan ada kesadaran komunal tentang kesepakatan.

Contoh lain, Tari Janger di Bali. Pada masa lalu, tarian ini terkadang disusupi tarian yang lebih provokatif, di mana penari laki-laki dan perempuan saling menggoda. Meskipun begitu, itu adalah bagian dari pertunjukan yang memiliki aturan dan batasan, bukan sekadar ajang ekspresi bebas tanpa kendali. Pemahaman ini menunjukkan bahwa ada etika dan norma tak tertulis yang mengatur hubungan. Intinya, persetujuan itu ada, hanya saja belum pakai label modern dan terbungkus rapi dalam kearifan lokal.

Permendikbud 30: Ketika Urusan Hukum Dicampur Urusan Moral

Pergeseran makna persetujuan menjadi sangat penting ketika ia masuk ke ranah hukum. Klimaksnya terjadi saat Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) diterbitkan. Pasal yang paling bikin gaduh itu soal frasa "tanpa persetujuan korban."

Baca juga: Ketika Budaya Berbeda, Batasan Pelecehan Seksual Jadi Abu-abu

Dilansir dari artikel di VOI, frasa ini sontak memicu badai protes dari kelompok-kelompok yang khawatir. Mereka beranggapan bahwa kalau peraturan hanya melarang kekerasan yang dilakukan "tanpa persetujuan," itu artinya kekerasan yang dilakukan atas dasar suka sama suka menjadi halal. Pandangan ini mengaitkan kekerasan seksual dengan perzinahan dan mengabaikan fakta bahwa keduanya adalah isu yang berbeda.

Padahal, secara esensial, Permendikbud 30 hadir bukan untuk melegalkan perzinahan, melainkan untuk memberikan dasar hukum kepada korban. Dikutip dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), persetujuan adalah benteng legal yang membedakan aktivitas seksual sukarela dari tindak pidana. Tanpa konsep ini, sulit bagi sistem hukum untuk mengadili pelaku kekerasan seksual di kampus. Ini adalah tentang melindungi korban, bukan tentang menghakimi moral mereka.

Menjembatani Jurang Antara Moralitas dan Keadilan

Pertarungan antara paradigma moral-religius dan paradigma hukum-universal inilah yang menjadi akar masalah.

Kelompok pertama melihat seksualitas sebagai ranah yang harus dikendalikan oleh norma agama dan budaya, di mana setiap tindakan di luar norma itu dianggap dosa. Kelompok kedua melihatnya sebagai ranah hak asasi manusia, di mana setiap orang memiliki otonomi atas tubuhnya dan negara wajib melindunginya dari segala bentuk kekerasan, terlepas dari konteks moral.

Jurnal UMY mencoba menawarkan jalan tengah dengan menjelaskan bahwa Permendikbud 30 justru mengisi kekosongan hukum yang ada. Tujuan peraturan ini adalah mencegah kejahatan, bukan mengatur moralitas. Keduanya bisa berjalan beriringan. Memiliki hukum yang adil tidak akan merusak nilai-nilai agama. Sebaliknya, hal itu justru memperkuatnya dengan memastikan tidak ada ketidakadilan.

Memangnya apa susahnya memisahkan dua hal ini? Seseorang bisa saja melakukan perbuatan yang dianggap amoral, tapi selama tidak ada paksaan atau kekerasan, itu adalah urusan pribadi dan Tuhan. Sebaliknya, jika ada kekerasan, meskipun dilakukan oleh orang terdekat atau bahkan dalam konteks yang dianggap "halal," itu tetaplah kejahatan yang harus dihukum.

Persetujuan, Tanda Kita Beradab

Keributan soal persetujuan ini adalah tanda bahwa kita sedang berevolusi. Kita sedang mencoba memahami bahwa di dunia yang makin kompleks ini, norma-norma lama harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang modern. Persetujuan bukan cuma soal iya atau tidak. Ini adalah soal otoritas diri, soal rasa hormat, dan soal keadilan.

Jadi, jangan lagi anggap persetujuan itu hantu atau barang impor. Itu adalah prinsip universal yang fundamental. Menerimanya bukan berarti kita meninggalkan budaya luhur. Justru, itu artinya kita menguatkan budaya itu dengan fondasi yang lebih kokoh dan beradab. Sebab, bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjunjung tinggi keadilan, dan keadilan dimulai dari pengakuan atas hak setiap individu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun