Padahal, secara esensial, Permendikbud 30 hadir bukan untuk melegalkan perzinahan, melainkan untuk memberikan dasar hukum kepada korban. Dikutip dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), persetujuan adalah benteng legal yang membedakan aktivitas seksual sukarela dari tindak pidana. Tanpa konsep ini, sulit bagi sistem hukum untuk mengadili pelaku kekerasan seksual di kampus. Ini adalah tentang melindungi korban, bukan tentang menghakimi moral mereka.
Menjembatani Jurang Antara Moralitas dan Keadilan
Pertarungan antara paradigma moral-religius dan paradigma hukum-universal inilah yang menjadi akar masalah.
Kelompok pertama melihat seksualitas sebagai ranah yang harus dikendalikan oleh norma agama dan budaya, di mana setiap tindakan di luar norma itu dianggap dosa. Kelompok kedua melihatnya sebagai ranah hak asasi manusia, di mana setiap orang memiliki otonomi atas tubuhnya dan negara wajib melindunginya dari segala bentuk kekerasan, terlepas dari konteks moral.
Jurnal UMY mencoba menawarkan jalan tengah dengan menjelaskan bahwa Permendikbud 30 justru mengisi kekosongan hukum yang ada. Tujuan peraturan ini adalah mencegah kejahatan, bukan mengatur moralitas. Keduanya bisa berjalan beriringan. Memiliki hukum yang adil tidak akan merusak nilai-nilai agama. Sebaliknya, hal itu justru memperkuatnya dengan memastikan tidak ada ketidakadilan.
Memangnya apa susahnya memisahkan dua hal ini? Seseorang bisa saja melakukan perbuatan yang dianggap amoral, tapi selama tidak ada paksaan atau kekerasan, itu adalah urusan pribadi dan Tuhan. Sebaliknya, jika ada kekerasan, meskipun dilakukan oleh orang terdekat atau bahkan dalam konteks yang dianggap "halal," itu tetaplah kejahatan yang harus dihukum.
Persetujuan, Tanda Kita Beradab
Keributan soal persetujuan ini adalah tanda bahwa kita sedang berevolusi. Kita sedang mencoba memahami bahwa di dunia yang makin kompleks ini, norma-norma lama harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang modern. Persetujuan bukan cuma soal iya atau tidak. Ini adalah soal otoritas diri, soal rasa hormat, dan soal keadilan.
Jadi, jangan lagi anggap persetujuan itu hantu atau barang impor. Itu adalah prinsip universal yang fundamental. Menerimanya bukan berarti kita meninggalkan budaya luhur. Justru, itu artinya kita menguatkan budaya itu dengan fondasi yang lebih kokoh dan beradab. Sebab, bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjunjung tinggi keadilan, dan keadilan dimulai dari pengakuan atas hak setiap individu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI