"Perempuan bermental baja bukan soal multitasking nonstop, melainkan soal batasan, keseimbangan, dan kewarasan di tengah hidup yang absurd."
Entah sejak kapan definisi perempuan bermental baja itu bergeser dari sosok pejuang tangguh menjadi superwoman yang bisa apa saja.Â
Kita semua kenal sosok itu—atau setidaknya sering melihatnya di linimasa media sosial. Ibu-ibu yang konon sanggup meeting sambil nyuapin anak, deadline mepet sambil bikin bekal, bahkan mungkin sekadar nge-scroll Instagram sambil masak. Lantas, kita menganggap itu sebagai manifestasi puncak dari ketangguhan.
Padahal, kalau kita jujur-jujuran, itu bukan mental baja. Itu namanya pusing. Itu namanya ngos-ngosan. Itu namanya resep paling ampuh untuk depresi.
Sebab, mental baja yang sesungguhnya itu tidak keras dan kaku seperti besi—yang begitu dipalu langsung retak. Mental baja itu justru lentur dan adaptif. Dia mirip baja yang dicampur karbon—elastis, bisa ditekuk, dan kembali ke bentuk semula. Ia tidak akan hancur lebur di bawah tekanan. Ia hanya berubah, menyesuaikan diri, dan tumbuh.
Argumentasi yang akan kita kupas tuntas ini bukan soal menjadi sosok superwoman yang dipuja orang, melainkan menjadi perempuan waras yang tahu batasan dan berani hidup sesuai jalannya.
Baca juga:Â Penyebab Gangguan Mental Ternyata Lebih Rumit, Ini Penjelasannya
Mental Baja, Ternyata Tidak Berarti Tidak Punya Jeda
Sering kita kira, orang yang kuat mental itu adalah mereka yang tidak pernah berhenti. Dikutip dari berbagai seminar motivasi abal-abal, kita diajari untuk "berlari terus, jangan kasih kendor." Padahal, itu omong kosong. Kekuatan mental yang sejati justru terletak pada keseimbangan.