Tapi ini yang bikin gregetan:
- Undang-Undang vs. Keputusan Menteri: Seperti yang dibilang JK, dalam hirarki hukum kita, UU itu kedudukannya lebih tinggi daripada Keputusan Menteri. Jadi, kalau UU No. 24 Tahun 1956 sudah bilang itu Aceh punya, ya Kepmendagri nggak bisa dong seenaknya mengubah status itu? Ini namanya "cacat formil", bikin peraturan di bawah jadi berlawanan sama peraturan di atas. Dikutip dari Kompas.com, ini yang jadi poin utama keberatan Aceh.
- MoU Helsinki: Bagi Aceh, Perjanjian Helsinki itu punya nilai sakral. Kalau keputusan Kemendagri melangkahi batas yang diakui dalam MoU itu, rasanya kayak dikhianati. Ini bukan cuma soal kertas, tapi soal perdamaian yang sudah susah payah dibangun.
Jangan-jangan Ada "Harta Karun" di Balik Sengketa Ini? Ini Dia yang Bikin Overthinking
Nah, ini dia bagian yang bikin kita bertanya-tanya, jangan-jangan ada udang di balik batu, atau lebih tepatnya, ada "harta karun" di balik pulau-pulau itu? Apa sih yang bikin Sumut ngotot banget, dan Aceh juga nggak mau lepas sedikit pun?
Banyak politisi dan tokoh Aceh yang menuding bahwa motif di balik sengketa ini adalah potensi minyak dan gas bumi (migas) yang melimpah ruah di perairan sekitar empat pulau tersebut. Muslim Ayub, anggota DPR asal Aceh, bahkan terang-terangan menduga bahwa kekayaan minyak yang luar biasa inilah yang jadi alasan utama Kemendagri sampai mengalihkan batas wilayah. Sama halnya dengan Bupati Aceh Singkil, Safriadi, yang menegaskan, "Bukan hanya pulaunya. Ada harta karun di dalamnya, yaitu gas dan minyak."
Coba lihat ini:
- Blok Singkil (Offshore South West Aceh / OSWA). Ternyata, empat pulau ini memang berdekatan banget dengan Wilayah Kerja Offshore South West Aceh (OSWA) atau Blok Singkil. Mengacu pada Detik.com, Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) sendiri sudah tanda tangan kontrak dengan Conrad Asia Energy Ltd pada Januari 2023 untuk eksplorasi di Blok Singkil. Blok ini luasnya 8.200 km persegi dan punya potensi sumber daya minyak sekitar 1,4 miliar barel dan gas sekitar 8,6 triliun kaki kubik. Angka-angka ini bikin mata melotot, kan?
- Tapi, kata Kemendagri... Mendagri Tito Karnavian sih membantah ya kalau keputusan itu ada kaitannya sama migas. Katanya, ini murni penataan batas wilayah saja. Tapi ya namanya juga spekulasi publik, kan? Apalagi menurut Kepala BPMA, Nasri Djalal, empat pulau itu sendiri belum punya data seismik yang cukup buat memastikan potensi migas ekonomis. Jadi, masih abu-abu nih.
Terus, gimana dengan potensi tambang lain seperti nikel, emas, batubara, atau timah? Sejauh ini, tidak ada informasi valid yang menyebutkan adanya cadangan signifikan atau bahkan izin penambangan mineral padat di daratan empat pulau tersebut. Dan ingat, ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang penambangan mineral di pulau-pulau kecil. Jadi, kalaupun ada, nggak semudah itu bisa digali. Fokusnya memang ke si 'emas hitam' alias migas di bawah laut.
Apa Hubungan Aceh, Si Anak Istimewa Sama Pulau Ini?
Nah, ini dia salah satu kunci pentingnya. Aceh itu beda. Dia bukan cuma provinsi biasa, tapi daerah otonomi khusus. Ini artinya, Aceh punya kewenangan lebih dalam mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk urusan sumber daya alam.
- BPMA, wewenang sendiri: Di Aceh, ada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) yang punya kendali penuh atas hulu migas di darat dan laut Aceh sampai 12 mil dari pantai. Ini beda banget sama provinsi lain yang urusan migasnya diatur oleh SKK Migas di bawah Kementerian ESDM.
- Kendali sumber daya: Kalau empat pulau itu pindah tangan ke Sumut, otomatis kendali atas potensi migas di perairan sekitarnya (jika memang terbukti ada) juga ikut bergeser. Bagi Aceh, ini bukan cuma kehilangan pulau, tapi juga kehilangan kewenangan vital yang dijamin oleh otonomi khusus mereka. Ini yang bikin mereka merasa hak-hak istimewanya diabaikan.
Akhirnya Presiden Turun Tangan! Bakal Gimana Nasib Si Empat Pulau?
Karena polemik ini sudah bikin gerah dan berpotensi memecah belah, akhirnya Presiden Prabowo Subianto turun tangan. Presiden ditargetkan akan memberikan keputusan akhir soal status empat pulau ini dalam waktu dekat. Ini bukan cuma soal pulau, tapi juga soal menjaga kepercayaan antara pusat dan daerah. Kalau nggak diselesaikan adil, bisa jadi bumerang, lho.
Pihak Aceh sendiri, sudah sepakat nggak mau lewat jalur hukum PTUN, mereka lebih milih jalur administratif dan politis. Kalau buntu, ya bakal langsung lapor ke Presiden. Ini nunjukin kalau mereka serius banget dan yakin kalau bukti-bukti mereka itu valid.
Subyektifitas Saya: Ada Apa di Balik Upaya Pemindahan Empat Pulau Ini?
Jadi, setelah kita bedah habis-habisan polemik empat pulau ini, ada satu hal yang terus terngiang-ngiang di benak saya, dan mungkin juga di benak banyak dari kita. Menurut opini saya, percobaan pemindahan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara ini terlihat seperti upaya eksplorasi migas untuk kepentingan oligarki yang digawangi oleh pihak-pihak terkait, bahkan mungkin melibatkan pengaruh dari struktur kekuasaan tertinggi. Mengapa demikian? Karena kita semua tahu, Gubernur Sumatera Utara saat ini merupakan menantu dari mantan Presiden Jokowi (Geng Solo). Dalam konteks seperti ini, kepentingan perizinan dan segala tetek bengeknya bisa menjadi jauh lebih mudah diatur, nggak pakai ribet.
Kita juga sama-sama paham betul, Aceh itu bukan daerah biasa. Dia adalah daerah otonomi khusus yang punya kebijakan dan kewenangan istimewa, yang artinya "tidak mudah diatur oleh pemerintah pusat" dalam banyak hal, terutama soal sumber daya alamnya. Kewenangan BPMA di Aceh menunjukkan bagaimana ketatnya kendali Aceh terhadap migas di wilayah mereka. Kalau pulau-pulau ini beralih, artinya Aceh kehilangan sebagian kendali itu, dan ini bisa jadi jalan mulus bagi pihak-pihak tertentu yang ingin masuk dan menggarap potensi migas tanpa harus berhadapan dengan "aturan main" otonomi khusus Aceh yang mungkin lebih ketat atau punya perhitungan berbeda.
Duh, memang ya, urusan uang dan kekuasaan itu kadang bikin gelap mata. Semoga saja sengketa ini bisa diselesaikan dengan adil dan transparan, tanpa ada yang merasa dikorbankan. Karena kalau sudah menyangkut kepercayaan, itu lebih mahal dari migas seisi laut sekalipun. Gimana menurut netizen di Kompasiana? Jangan-jangan kita semua jadi overthinking bareng-bareng nih?