Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Kabar Duka Itu (Tak) Lagi Kutangisi?

23 September 2020   12:53 Diperbarui: 23 September 2020   18:16 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: becomingflame.com

Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan diri saya akhir-akhir ini. Dulu, pada bulan ketika Covid-19 mulai merebak, pada sekitar pertengahan dan/atau akhir Maret, pada ketika media mulai ramai memberitakannya, saya (jujur) pernah merasa agak kuatir dan was-was ketika membaca kabar duka dari keluarga.

Ketika datang kabar bahwa saudara saya yang tinggal serumah dengan istri dan anak-anak saya di Surabaya terindikasi positif virus (corona) berdasarkan hasil rapid tes, saya mendadak sedikit "panik". Tak lama setelah mendengar kabar itu, saya bergegas menghubungi satgas Covid Surabaya (Surabaya Tanggap COVID-19) dan beberapa rumah sakit untuk menanyakan apa yang sebaiknya saya harus lakukan. Dan, ya, akhirnya saya memang harus memutuskan: menyuruh saudara saya itu menjauhi rumah saya dan menyarankannya tinggal sementara di hotel sambil menunggu hasil pemeriksaan selanjutnya (tes swab).

Nah, jadi, yang saya sebut sebagai "keanehan" yang terjadi dengan diri saya itu adalah: saya sekarang tidak seperti itu lagi! Saya merasakan sekarang saya berubah menjadi orang yang tidak panik, dan bahkan tidak "peka". Saya sekarang menganggap berita duka (karena Covid-19) sebagai hal yang biasa-biasa saja, normal, dan sangat lumrah.  

Hanya dalam sebulan terakhir saja (tak sampai sebulan malah), sudah beberapa kali kabar duka mampir di mesin android saya. Bahkan, 4 (empat) kabar duka itu, sebagian dari beberapa kabar duka lainnya, adalah kabar tentang orang-orang yang sangat saya kenal. 3 (tiga) minggu yang lalu, datang kabar duka pertama di bulan September ini: Pras, salah satu teman lama SD saya yang menjadi kepala sekolah, dinyatakan meninggal dunia karena Covid-19. Nah, selang beberapa hari setelahnya, datang kabar duka yang kedua di bulan yang sama: ayah salah satu teman lama saya juga dinyatakan meninggal dunia. Kabarnya, juga karena Covid-19.

Kabar mengagetkan yang ketiga dan keempat itu datang hanya beberapa hari sebelum saya menuliskan artikel ini: sahabat dekat dari saudara saya dan mantan kepala desa saya dinyatakan meninggal dunia..

Hanya dalam waktu yang belum ada sebulan terakhir (bulan September), saya merasa dikepung kabar duka yang dikirimkan bertubi-tubi. Empat orang yang meninggal itu adalah orang-orang yang pernah dekat dengan saya atau setidaknya saya pernah kenal dan bertemu. Seberapa banyak dari mereka yang meninggal (karena Covid-19) dan tidak saya kenal? Banyak sekali. Ya, banyak sekali.

Ketika datang kabar duka yang pertama - Pras dinyatakan meninggal karena Covid-19, saya sama sekali tidak memekik kaget dan menangis. Saya memang merasakan sedih dan merasa kehilangan, tetapi itu hanya sesaat. Beberapa detik mengenangnya, lalu mengirimi ucapan duka cita. Saya mencarinya di Google, pencet salin, edit sedikit, lalu klik "send".

Mengapa saya seperti ini?

Mengapa saya tampak seperti sedang berada dalam ruang sangat pucat dan situasi batin sangat aneh? Mengapa saya mengganggap berita duka sebagai sesuatu yang, katakanlah, biasa-biasa saja?

Ini mengerikan sekali!

Tapi, saya kemudian segera teringat pada penjelasan sederhana yang mungkin bisa menjawab pertanyaan saya. Bukankah kita sering menganggap sesuatu sebagai hal yang tidak biasa, tidak normal, ketika sesuatu tersebut jarang terjadi, jarang diberitakan, jarang didengar, dan jarang kita kerjakan. Terhadap sesuatu yang sering diperbincangkan, dikabarkan, sering terjadi, dan bahkan kita kerjakan terus menerus, maka kita akan menganggapnya sebagai biasa, normal, dan umum. Nah, terhadap keduanya, otak saya pasti akan memberikan respon yang berbeda-beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun