Bukti dan fakta bahwa revolusi cara bersosialisasi itu juga telah mendatangkan polusi yang dampaknya tidak ringan juga muskil dibantah.Â
Buktinya, polusi ODE atau Online Disinhibition Effect, yang dipopulerkan oleh Suler, yang didefinisikan sebagai kecenderungan orang untuk merasa bebas menumpahkan semua ekspresi dan emosi kepada yang lainnya ketimbang pada saat mereka bertemu langsung, kini sedang mewabah.
Dalam artikel saya yang lain, saya sebelumnya juga pernah menulis ini; bahwa dampak medsos itu ternyata juga telah merambat dalam kehidupan nyata saya. Betapa sulitnya saya harus mengekspresikan pendapat atau opini yang berkebalikan dari anggapan kebanyakan orang kepada orang lain.
Menurut saya, adanya anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa media sosial itu "bukan" media yang antisosial, adalah benar karena pada dasarnya media sosial memang diciptakan untuk membantu manusia dalam proses berinteraksi.
Sebagai alat interaksi, teknologi internet dan media sosial menjadi alat yang membantu manusia supaya lebih mudah dalam proses berinteraksi dengan yang lainnya di dunia nyata.Â
Namun karena pemahaman penggunanya yang tumpul dan rendahnya kadar literasi, banyak dari para pengguna media sosial akhirnya terperangkap dalam sikap-sikap yang antisosial.
Dalam gelembung-gelembung obrolan itu, mereka mendebatkan tema-tema yang kerap diperbincangkan, diamini atau disombongkan.Â
Akan tetapi, setelah itu, dalam obrolan-obrolan yang melelahkan itu, saya kemudian malah melihat orang-orang itu seperti bukan manusia yang sewajarnya; mereka saling menghujat, mencela, misuh-misuh dan seperti hendak mengajak berkelahi.Â
Apakah mereka merasa diri mereka lebih baik karena pihak lain lebih buruk? Atau barangkali mereka senang melihat ketidakbaikan orang lain?
"Kamu tidak akan pernah kehabisan alasan untuk saling membenci," kata Frans, teman saya.