Anak-anak tidak peduli sahabat-sahabatnya itu beragama apa, berbangsa apa dan beretnis apa. Selama orang-orang terdekat mereka tersenyum, mereka akan bermain bersama dengan suka cita.
Anak-anak menyimpan kisah dan dunianya yang luar biasa! Dan, orang-orang tua (seperti kita) boleh iri kepadanya.
Anak-anak kita itu bagaikan kertas putih. Ayah dan ibunyalah (orang-orang dewasalah) yang akan memberikan warna. Apakah hitam, putih atau abu-abu. "Terserah" kepada kita, apapun warnanya itu.
Anak akan membangga-banggakan identitasnya (nationality, faith, race) jika kita menginginkannya demikian dan dengan sengaja membiarkan ia bangga dengan identitasnya.Â
Sama halnya ketika kita mengajari dengan cara yang sebaliknya, anak juga akan tumbuh menjadi (seperti) "Gus-Dur kecil" yang membaur dan tidak pernah melihat apa warna bajumu, apa agamamu, apa madzab, apa warna kulitmu dan seterusnya.
Jika kita terus mengajarkan kepada anak-anak tentang perbedaan dia dengan teman yang lainnya, maka, kata Dalai, kita secara tidak sadar sedang menciptakan persoalan untuk kita sendiri. "How we create problems for ourselves," kata Dalai.
Saya dan mungkin banyak rakyat kini merasa sangat muak melihat negeriku terus riuh dan gaduh! Ini, saya yakini, dikontribusi oleh agitasi identitas yang disembur-semburkan secara terus menerus di panggung media sosial. Betapa kita menciptakan persoalan untuk kita sendiri.
Yang membuat kita kian miris, bahkan, ada sejumlah kelompok yang membela-bela sampai mati segala hal yang bahkan kita tidak pernah bisa putuskan sendiri.
Segala hal yang kita ributkan selama ini itu tidak pernah bisa kita putuskan sendiri?
Ya, demikianlah saya melihat dan memahaminya.
Bukankah ras itu bersifat biologis? Ras adalah kumpulan faktor genetik yang berhubungan dengan faktor lingkungan dari dan di tempat nenek moyang kita berevolusi. Apakah saya bisa meminta Tuhan agar saya dilahirkan sebagai orang Yahudi, sebagai orang Arab, atau sebagai orang Melayu?