Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tafsir "Iri Hati" untuk Diri Saya Sendiri

29 September 2018   19:45 Diperbarui: 29 September 2018   19:45 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: indianexpress.com

JIKA ada yang bertanya kepada saya: pernahkah saya iri kepada orang lain? Saya tak akan malu langsung menjawab: ya, saya pernah iri. Sering sekali iri, malah!

Saya seringkali iri kepada segala hal! Kepada teman-teman sekolah, dahulu, saya iri mengapa mereka bisa memakai sepatu bagus, sedangkan saya tidak? Mengapa mereka bisa mendapatkan uang saku cukup dari orang-tua, sedangkan saya tidak? Saya iri mengapa saya harus mengayuh sepeda dua dupuh empat kilometer setiap hari pulang pergi, sedangkan teman saya tidak?

Bahkan, karena saking irinya, saya pun pernah berkeluh kesah kepada Tuhan: mengapa saya ditaqdirkan hidup susah?

Iri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain (beruntung dan sebagainya); cemburu; sirik; dengki. Iri muncul karena hati merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain. "mengapa ia memilki sesuatu yang saya tidak punyai?" demikian lah iri itu muncul.

Iri muncul ketika orang membandingkan dirinya dengan orang lain, dan, ternyata menemukan dirinya lebih rendah -- tidak seperti orang yang dibandingkannya.

Dalam banyak percakapan, rerasan, nasehat dan tulisan yang saya baca, iri kerap disebut sebagai perilaku atau emosi yang tidak baik. Negatif.

Benarkah demikian?

Banyak orang, saya kira, enggan mengakui mereka iri kepada orang lain. Banyak dalih dan sebab disampaikan orang. Yang paling sering kita dengar adalah: karena iri itu tidak baik. Terlihat tak dapat diterima masayarakat. Agama juga menasehatkan yang serupa: agar kita tidak iri. Saya pun membenarkan pendapat ini, setidaknya, itu pendapat saya dahulu.

Namun, kini, ketika orang menyebut usia saya sebagai paruh baya, saya agaknya memiliki tafsir lain tentang  iri itu. Iri, bagi saya, itu sama halnya dengan perasan senang, benci, rindu, sebal dan lain-lain ragam emosi orang. Iri itu pengalaman emosi sangat alamiah dan umum dialami hampir semua orang. Tidak ada yang salah -- asalkan tidak merusak. Sebuah studi tentang perilaku manusia menemukan bahwa 90 persen manusia itu dapat dibagi menjadi empat ciri dasar kepribadian utama: optimis, pesimis, percaya, dan iri hati. Jadi, iri hati itu adalah manusiawi.

Saya juga menemukan beragam jawaban menarik tentang iri. Saya pernah datang dan menanyakan pada Ustaz tentang boleh atau tidak saya iri kepada kawan saya yang menjadi manager di perusahaan Amerika. Uztaz (tentu saja) mengatakan: tidak boleh. Haram.

Di lain waktu, saya datang dan menanyakannya kepada seorang motivator. Motivator itu pun memberi jawaban lain: Boleh. "Itu malah bisa menjadi sumber inspirasi," katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun