JIKA ada yang bertanya kepada saya; siapa penceramah agama yang paling sering saya dengar dan paling berkesan? Jawaban saya adalah: KH Ma'ruf Islamudin. KH Ma'ruf adalah seorang kiai asal Sragen yang begitu populer pada awal tahun 2000-an.
Saya tak tahu persis, sudah berapa ratus kali tepatnya saya mendengar berulang-ulang suara rekaman pengajian KH Ma'ruf Islamudin dari ratusan CD bajakan. Kadang CD itu kami peroleh dari teman kami yang baru kembali pulang dari Indonesia atau kadang-kadang kami menerima kiriman bersamaan dengan pesanan bumbu pecel atau rokok. Â
Jika saya ditanya lagi: apa yang membuat kami (saya sebut kami -- karena bukan hanya saya saja) begitu menyukai pengajiannya? Ini jawabannya: karena pengajian yang disampaikan KH Ma'ruf Islamudin itu sangat enak, renyah didengar, tidak "menjustifikasi" dan tidak terlihat "sakral" layaknya pengajian-pengajian saat ini. Setidaknya, seperti itulah yang bisa saya simpulkan dari pengalaman saya sendiri sepanjang hampir 2 tahun lamanya.
Teman saya yang Kristen, teman saya Budha, dan teman saya yang setengah Islam setengah tidak merasa tidak terganggu dengan sentilan-sentilan KH Ma'ruf yang halus namun sangat mengena. Teman-teman saya yang mengaku Islam, namun sama sekali tak pernah bersimpuh di sajadah sama sekali merasa tak tersinggung disentil oleh KH Ma'ruf.
Usai kami lelah bekerja seharian, sambil melepaskan penat atau tidur-tiduran di flat kami di Gyeonggi-do, Korea Selatan, kami selalu menjadikan suara KH Ma'ruf Islamudin sebagai teman leyeh-leyeh. Selalu seperti itu hingga hampir 2 tahun lamanya. Saking seringnya, saya tak ingat pasti sudah berapa ratus kali saya mendengarkan ceramahnya. Tetapi, meski begitu, kami tak pernah bosan. Bagi kami, kami tak peduli apakah pengajian KH ma'ruf itu disebut "sakral" atau "profan".
Kata-kata sakral dan profan, lazim kita jumpai dalam berbagai kajian keilmuan, termasuk ilmu agama. Secara populer sakral berarti suci atau dianggap suci. Sedangkan profan bermakna sebaliknya. Â Sakral senantiasa berkaitan dengan kepercayaan dan iman seseorang. Kitab Alquran bagi pemeluk agama Islam diyakini sakral sehingga disebut kitab suci, tetapi bagi agama lain, Alquran akan dianggap sebagai profan. Demikian pula halnya dengan pengajian.
KH Ma'ruf Islamudin adalah penceramah agama dengan gayanya yang sangat khas. Biasanya, saat ia diundang berdakwah, ia selalu tidak datang sendirian, melainkan datang bersama rombongan grup rebana yang bernama "Walisongo". KH Ma'ruf menjadi pemimpin grup itu.
Saat KH Ma'ruf Islamudin ingin sejenak beristirahat, grup "walisongo" yang menggantikannya. Grup rebana itu senantiasa menyanyikan lirik-lirik yang bertema nasihat, tentang hidup sehari-hari yang digubah menjadi salawat. Dalam hampir setiap ceramahnya, KH Ma'ruf selalu memberi contoh kasus nyata hidup wong cilik sehari-hari.
Mungkin karena pengajian KH Ma'ruf Islamudin yang tidak tampak "menakutkan" dan malah menghibur itu lah yang saya kira membuat teman-teman saya sangat menyukainya. Bahkan teman saya yang berbeda agama pun merasa tak terganggu mendengarkan suara rekaman pengajian yang terdengar memenuhi flat kami yang tak seberapa luas itu. Bagi mereka, mungkin pengajian KH Ma'ruf memberikan rasa adem, sejuk dan penuh rahmat. Masing-masing orang tidak harus "merasa" tersindir.
Kisah bagaimana kami harus menyirami jiwa yang haus seperti kisah di atas itu tentu saja sangat berbeda jika saya membandingkannya dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini ketika tiba-tiba kita harus melihat cara-cara menyebarkan hidayah (baca agama Islam) yang tampak semakin 'ramai' dan terasa 'pedas'.
Kita akhir-akhir ini kerap mendengar ragam-ragam cara menyebarkan hidayah. Ada cara-cara yang halus ala walisongo, tetapi ada pula yang 'keras' yang tak jarang  juga dibarengi dengan menghakimi sesamanya. Kata mereka, sesuatu yang dinilai "membahayakan aqidah" adalah bukanlah Islam. Tak jarang, surga dan neraka pun dibawa-bawa.