“Perjalanan ke Maasai Village dimulai pukul 10”, demikian jawab Joice, gadis suku Maasai yang bekerja sebagai resepsionis di Ilkeliani Camp, di Maasai Mara, di pedalaman hutan Afrika Timur perbatasan Kenya dan Tanzania ini.
Setelah selesai dengan “game drive”, atau safari di pagi hari melihat berjenis-jenis kekayaan fauna Afrika yang eksotis, tepat pukul sepuluh saya sudah siap kembali di tenda tempat Joice bertugas. Seorang pemuda suku Maasai dengan pakaian tradisional yang berwarna-warni tampak sudah menanti.
“Nama saya Joel”, demikian pemuda itu memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris yang fasih. Dia menjelaskan bahwa dia akan menjadi pemandu saya menuju ke Maasai Village. Ternyata saya menjadi satu-satunya turis pagi itu dan kami akan berjalan kaki ke perkampungan yang letaknya kira-kira satu kilometer dari camp kami.
Segera saya dan Joel berjalan perlahan menembus padang savanna yang luas. Di dekat gerbang camp, saya diperlihatkan dengan tiga buah tengkorak hewan yang khas Afrika, yaitu, buffalo atau banteng Afrika, gajah, dan warthog, sejenis babi hutan yang liar.
Sepanjang perjalanan saya pun diperkenalkan dengan pepohonan khas yang daunnya bisa digunakan untuk bermacam-macam keperluan. Salah satunya adalah daun yang sangat lembut bernama “forrest Donbeya” yang dapat dipergunakan sebagai “toilet paper” oleh suku Maasai. Sebuah pohon lagi batang dan kulit daunnya dapat digunakan untuk membangun rumah tradisional. Sedangkan sebuah pohon yang namanya “Evergreen” , dapat digunakan untuk mengetes kekuatan gigi kita. Sambil berjalan kami mengunyah batang pepohonan tadi dan sekaligus membersihkan gigi.
Tidak terasa, kami pun tiba di pintu gerbang perkampungan. Dua orang berpakaian tradisonal menyambut kami. Salah satunya adalah ketua kampung. “Sopa”, demikian tegur kedua orang tadi dengan ramah, dan saya pun menjawab juga dengan “ Sopa” yang artinya Hello. Kata ini memang sudah diajarakan Joel kepada saya sebelumnya. Sedangkan dalam bahasa Swahili kata yang sama adalah Jambo.
Ketua kampung mengucapkan selamat datang, dan saya kemudian memperkenalkan diri dan membayar uang sebesar 2000 Shilling sebagai tiket masuk.Menurut ketua kampung yang bernama James ini, uang tadi akan digunakan sebagai sumbangan bagi kesejahteraan penduduk suku Maasai. Sebagai ucapan selamat datang saya diberikan sebuah tongkat kecil yang terus saya pegang selama berkunjung ke kampung ini.
Acara pertama adalah tarian khas suku Maasai yang dibawakan oleh sekelompok pemuda. Tarian ini adalah tarian perang yang digunakan untuk menyambut tamu agung. Wah!.Pagi itu Saya menjadi tamu agung rupanya. Tariannya dilaksanakan pemuda-pemuda tadi sambil berbaris rapih dan secara bergantian seorang demi seorang melakukan lompatan yang cukup tinggi. Saya pun diminta untuk ikut serta menari dan bahkan diberi mahkota sebagai kepala kampung.
Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki perkampungan. Kampung suku Maasai berbentuk lingkaran dan dikeililingi pagar dari pepohonan. Ada sekitar dua puluh buah rumah tradisional yang bentuknya serupa dan dindingnya terbuat dari kotoran sapi yang dikeringkan. Di tengahnya terdapat lapangan terbuka yang dipenuhi kotoran sapi dimana anak-anak bermain dengan gembira.
Kali ini giliran para wanita setengah baya yang membentuk barisan dan juga kemudian menari. Lagunya dinyanyikan saja tanpa diiringi alat musik. Nadanya terdengar gembira dan salah seorang dari mereka bahkan menari sambil menggendong seorang anak kecil . Joel bercerita bahwa isi nyanyian ini berupa sebuah doa supaya turun hujan dan juga semoga mereka dikarunia banyak anak.
Mereka menari sambil berbaris dan kemudian mendekat ke saya dimana kami pun bertegur sapa sambil menepukan telapak tangan. Saya kemudian sempat sejenak diajak menari bersama mereka dan dua orang turis wanita berkulit putih juga ikut menari bersama.
Selesai menari, saya diperlihatkan cara suku Massai membuat api. Sebatang ranting diputar dengan landasan sejenis kayu sehingga gesekannya menghasilkan panas yang kemudian dimasukan kedalam ranting yang kering. Setelah beberapa saat ditiup kemudian timbul asap dan akhirnya menjadi api.
Akhirnya saya pun diundang untuk melihat interior rumah tradisional suku Massai. Rumah yang tampak kecil , kumuh dan hanya memiliki pintu kecil ini memang pengap. Di dalamnya terdapat ruang untuk masak berupa sebuah dapur kecil dan ruang tidur, Bahkan terdapat juga sebuah ruang khusus untuk anak sapi.
Kunjungan saya pun kemudian diakhiri dengan berkunjung ke toko souvenir berupa lapak-lapak terbuka yang menjajakan berbagai kerajinan tangan suku Masaai yang khas. Wanita tua dan anak-anak sibuk berjualan barang dagangannya sambil tersenyum ramah dan menunjukan deretan giginyayang putih.
Sebuah kunjungan sekitar dua jam di perkampungan suku Maasai, yang tidakmudah dilupakan.
Maasai Mara. Perbatasan Kenya dan Tanzania