Di Yogyakarta, kota yang seolah tak pernah kehabisan ide untuk memanjakan lidah, selalu ada ruang baru bagi cerita kuliner. Salah satu nama yang kini semakin sering terdengar di obrolan mahasiswa, pekerja muda, hingga wisatawan, adalah Bubur Hayam Lowanu. Dari sekadar bubur ayam yang biasanya dianggap menu sarapan sederhana, tempat ini berhasil menjadikannya pengalaman makan yang berbeda---lebih modern, lebih dekat dengan gaya nongkrong anak muda, namun tetap akrab di lidah orang Jawa.
Dari Gang Lowanu Menuju Jaringan Cabang
Cerita Bubur Hayam Lowanu bermula dari sebuah ruko sederhana di kawasan Jalan Lowanu, Umbulharjo, Yogyakarta. Kawasan ini dikenal dekat dengan Taman Siswa, kawasan pendidikan yang sudah melegenda sejak zaman Ki Hadjar Dewantara. Nama "Lowanu" itu sendiri lalu melekat menjadi identitas.
Awalnya, warung ini hanya menjual bubur ayam seperti umumnya. Tetapi konsep yang ditawarkan perlahan berkembang: bukan sekadar bubur polos dengan suwiran ayam, tapi varian topping yang lebih berani---ati ampela, pelor (pentol telur), hingga tambahan kreatif seperti sate, bubur ketan hitam, bahkan minuman segar yang menempel di menu. Dari sinilah orang mulai membicarakan: bubur ayam di Jogja yang biasanya murah meriah, kini tampil dengan kemasan yang lebih segar tanpa kehilangan kehangatannya.
Seiring waktu, Bubur Hayam Lowanu tidak lagi hanya berpusat di satu lokasi. Beberapa cabang bermunculan di titik-titik strategis kota Jogja, terutama di sekitar kampus dan kawasan padat anak muda. Model ekspansinya memang khas kuliner Jogja masa kini: tidak gegabah membuka terlalu banyak, tetapi memastikan setiap cabang punya atmosfer yang hampir serupa---standar rasa yang terjaga, harga tetap terjangkau, dan ruang yang nyaman untuk makan sambil nongkrong.
Suasana Warung: Antara Tradisi dan Nongkrong
Masuk ke dalam salah satu cabangnya, suasana yang terasa bukan seperti warung bubur tradisional yang penuh kepulan asap di pagi hari. Meja kayu tertata rapi, interior sederhana tapi bersih, dan ada sedikit sentuhan modern yang membuatnya terasa seperti tempat nongkrong. Musik ringan kadang diputar, namun tidak sampai menutupi obrolan di meja.
Di cabang Lowanu, suasananya bahkan lebih terasa "campur" antara tradisi dan modern. Lokasinya berada di jalan yang tak jauh dari kos-kosan mahasiswa, jadi setiap siang dan malam suasana ramai. Meja dipenuhi anak muda dengan gaya santai, laptop terbuka, atau sekadar duduk sambil ngobrol. Bubur ayam yang biasanya identik dengan sarapan orang tua, di sini tampil sebagai teman nongkrong sore dan malam.