Perjalanan selalu punya cara sendiri untuk menjadi cerita. Kadang ia dimulai dari niat sederhana---sekadar berjalan-jalan melepas penat---namun di tengah jalan berubah menjadi mosaik yang lebih kaya, berlapis antara pengalaman, sejarah, dan kenangan lama.
Hanya beberapa menit setelah meninggalkan Ledok Sambi, kami tiba di pintu gerbang Kaliurang.
Di pos masuk, saya melihat papan penunjuk arah wisata di kawasan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Papan ini menampilkan daftar destinasi beserta jaraknya dari titik lokasi. Misalnya Jeep--ATV Wisata Kaliurang Explore: 700 meter, Kaliurang Park: 1,8 km, Tlogo Putri & Tlogo Muncar: 2,7 km, dan Museum Ullen Sentalu: 2,3 km.
Di pintu ini, kami membayar Rp4.000 per orang dan tujuan pertama adalah mampir ke Telogo Putri untuk makan siang. Setelah sempat hampir salah masuk ke jalan sempit karena mengikuti Google Map, akhirnya kami tiba dengan selamat dan bahagia di kawasan Telogo Putri.
Telogo Putri: Pecel, Jadah, dan Monyet yang Usil
Di sekitar tempat parkir, berderet warung makan yang menawarkan beberapa pilihan. Kami masuk ke salah satu warung dan memesan nasi pecel plus jadah, serta minuman hangat. Sebelumnya saya sempat membeli sebungkus plastik kacang rebus di warung sebelah.
Uniknya, pelayan di warung ini seorang lelaki usia 40-an yang tuna rungu. Kami pun harus menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Kami duduk di semacam balkon dengan pemandangan cantik ke lembah. Ada pagar kawat yang memisahkan tempat makan kami, rupanya karena banyak monyet yang sering mengganggu. Dengan mata berbinar, seekor monyet memberi isyarat seakan minta makanan. Sambil makan pecel dan jadah, sesekali saya melemparkan kacang rebus melalui celah kawat dan langsung disambar oleh monyet itu.
Pecel sederhana dengan bumbu kacang yang lezat ditemani jadah berbahan ketan terasa makin menggoda dalam suasana sejuk Telogo Putri. Tempat ini akhirnya menjadi unik: bukan hanya arena wisata, tetapi juga ruang kecil di mana manusia dan satwa liar berbagi---kadang harmonis, kadang penuh rebutan.
Parkiran, Kuliner, dan Odong-Odong
Selesai makan, kendaraan kami pindahkan ke Taman Kuliner Telogo Putri. Suasananya tak kalah meriah. Deretan warung menjual aneka kuliner: sate kelinci, bakso, mi instan rebus dengan telur, hingga minuman hangat yang pas dengan hawa dingin pegunungan. Aroma asap sate bercampur dengan udara sejuk, menciptakan kontras yang justru mengundang selera.
Yang paling mencuri perhatian adalah odong-odong yang lewat. Mobil wisata mini berwarna cerah itu dijejali pengunjung, berkeliling kawasan Kaliurang dengan iringan musik khas.
"Ongkosnya Rp10.000," kata petugas parkir, menjelaskan bahwa odong-odong mengantar penumpang keliling ke beberapa tempat menarik di kawasan wisata Kaliurang lalu kembali lagi ke sini.
Awalnya saya hanya melihat, tetapi akhirnya tergoda untuk ikut---bukan ikut naik, melainkan membuntuti jalurnya. Dengan mengikuti odong-odong, kami bisa menghafalkan rute yang dilewati: jalan mana yang berbelok, titik mana yang penting, serta tempat-tempat yang patut dikunjungi.
Odong-odong memang tidak berhenti di tempat-tempat itu, tetapi kami berjanji akan mampir nanti. Setelah sekitar lima belas menit mengikuti odong-odong dan kembali ke Telogo Putri, kami pun memulai perjalanan napak tilas dengan rute yang sama, kali ini bebas berhenti di tempat menarik.
MUGESA: Belajar dari Gempa
Tujuan pertama adalah Museum Gempa Prof. Sarwidi (MUGESA). Bangunan ini tidak megah, tetapi memiliki misi penting: edukasi tentang gempa dan bagaimana manusia bisa membangun rumah yang lebih tahan guncangan.
Di depan museum, terpampang papan besar bertuliskan "Solusi Rumah Aman Gempa". Ada foto reruntuhan, ada diagram teknik bangunan. Saat berdiri di sana, saya teringat gempa besar Yogyakarta 2006 yang memorakporandakan ribuan rumah. MUGESA seolah ingin berkata: bencana memang tak bisa dihindari, tapi manusia bisa belajar darinya.
Museum ini kebetulan sepi dan tutup, sehingga kami tidak masuk ke dalam. Namun berhenti sejenak dan berfoto di depannya sudah cukup untuk memperoleh sedikit tambahan pengetahuan tentang gempa. Pesannya jelas: jangan anggap remeh alam. Merapi, gempa, dan bencana lain bukan musuh, melainkan pengingat bahwa kita hanya tamu kecil di muka bumi.
Botanical Garden: Jeda di Tengah Perjalanan
Perjalanan berlanjut ke Kaliurang Botanical Garden. Taman ini terasa seperti jeda yang menyenangkan setelah serius merenungi bencana. Bunga warna-warni mekar, pepohonan rapi, dan kursi-kursi taman tersedia untuk siapa saja yang ingin sekadar duduk.
Ada suara tawa keluarga, ada pasangan muda yang sibuk berfoto. Bagi saya, Botanical Garden adalah ruang untuk bernapas. Setelah pikiran diguncang tentang betapa rapuhnya manusia di hadapan alam, di sini saya kembali percaya pada kehidupan. Selalu ada bunga yang tumbuh setelah badai, selalu ada tawa setelah tangis.
Villa Van Resink: Rumah yang Menyimpan Rahasia
Masih di kawasan taman, ada sebuah bangunan kolonial tua: Villa Van Resink. Dari luar pagar hitam yang tinggi, terlihat rumah bergaya Eropa dengan atap merah dan dinding putih.
Di pagar hitam terpampang beberapa larangan: "Dilarang Masuk", "Dilarang Parkir", serta keterangan bahwa ini bukan pintu masuk wisata. Rumah ini tampak hanya berfungsi sebagai vila atau penginapan yang tak boleh sembarangan dikunjungi, seakan menyimpan rahasia yang hanya bisa dijangkau lewat imajinasi.
Van Resink sendiri nama yang asing bagi saya, mungkin pejabat Belanda dulu. Nanti akan saya cari informasinya lebih lanjut.
Memandang rumah ini, saya merasa sedang menatap persilangan sejarah. Dulu, vila-vila di Kaliurang memang dibangun oleh orang Belanda untuk beristirahat dari panasnya Yogya. Tetapi rumah Van Resink bukan sekadar vila, melainkan saksi perjalanan sejarah dari era kolonial sampai era republik.
Uniknya, tak jauh dari vila ini ada sebuah rumah tua dengan papan sindiran halus: "Hanya Monyet yang Boleh Buang Sampah Sembarangan."
Tempat Perjanjian Kaliurang: Diplomasi di Kaki Merapi
Destinasi berikutnya adalah sebuah kompleks peristirahatan dengan halaman luas. Di papan namanya tertulis: "Kagungan Dalem Pesanggrahan Ngeksigondo," dengan huruf emas di latar kuning serta lambang Kesultanan Yogyakarta. Artinya, kompleks ini milik keraton.
Di sebelahnya ada papan keterangan bahwa bangunan ini merupakan cagar budaya, lengkap dengan informasi mengenai Perjanjian Kaliurang. Di sinilah sejarah bangsa Indonesia ditorehkan.
Tahun 1948, setelah Agresi Militer Belanda I, para pemimpin Republik bertemu dengan Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Amerika, Belgia, dan Australia. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX hadir di sini, mencoba mencari jalan keluar lewat diplomasi.
Membayangkan peristiwa itu sambil berdiri di lokasi yang sama membuat bulu kuduk saya meremang. Angin sejuk Kaliurang terasa seperti bisikan sejarah. Bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan di medan perang maupun meja perundingan.
Kalau museum gempa tadi mengingatkan rapuhnya manusia di hadapan alam, tempat ini mengingatkan rapuhnya bangsa di hadapan politik dunia. Tetapi ada juga kebijaksanaan: bahwa dengan negosiasi, dengan sabar, sebuah bangsa bisa bertahan.
Sayang pintu tempat ini tertutup rapat sehingga saya hanya bisa menikmatinya dari luar.
Gardu Pandang, Vila RRI, dan Kenangan Pelawangan
Kendaraan terus bergerak perlahan hingga melewati gardu pandang. Kami hanya berhenti sejenak untuk berfoto dari kejauhan. Harga tiket masuk tercantum Rp4.000 untuk wisatawan domestik.
Tidak jauh dari sana ada Vila RRI, yang juga punya kisah penting di masa perjuangan. Saya melihat beberapa kendaraan parkir di halaman, mungkin vila ini sekarang disewakan untuk umum.
Mobil terus berjalan, melewati deretan kafe dan resto yang ramai. Rupanya ini pintu masuk menuju Pelawangan, tempat gardu pengamatan Gunung Merapi.
Kenangan lama pun menyeruak. Dulu, saya pernah benar-benar mendaki ke Pelawangan. Jalur tanah, kabut tipis, suara hutan, dan napas terengah-engah masih terasa jelas dalam ingatan. Saat itu, Merapi terasa dekat, seakan bisa disentuh. Kini, dari kejauhan, Pelawangan masih menyimpan pesonanya.
Menatap jalur itu, saya seperti melihat bayangan diri saya di masa lalu: diri yang muda, penuh tenaga, menapaki setiap langkah dengan semangat. Kini, saya menatap dari jauh, membawa kenangan. Rasanya seperti mengucapkan salam kepada diri sendiri yang pernah ada.
Penutup: Jejak yang Berlapis
Perjalanan dari Ledok Sambi hingga Gardu Pandang dan pintu ke Pelawangan bukan sekadar wisata. Ia adalah perjalanan berlapis. Dari pecel dan jadah di Telogo Putri, ke museum gempa yang penuh pelajaran, dari taman bunga yang riang, ke vila kolonial yang misterius, lalu ke tempat perjanjian yang sarat sejarah, hingga kenangan pribadi di Pelawangan.
Kaliurang, bagi saya, bukan hanya tempat sejuk di lereng Merapi. Ia adalah panggung di mana manusia, alam, sejarah, dan kenangan saling bersilang. Di satu titik, ada monyet yang merebut kacang; di titik lain, ada diplomasi yang menentukan arah bangsa. Semua itu menyatu, membentuk mozaik perjalanan yang akan terus saya ingat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI