Saya adalah penggemar film, dan tentu saja pernah menonton film Badai Pasti Berlalu yang ditayangkan pada tahun 1977, hampir setengah abad lalu. Kala iyi Christine Hakim, Selamet Rahardjo, Roy Marten merupakan bintang bintang yang merajai layar perak di negeri ini. Dan tentu saja kita tidak boleh lupa dengan sosok penata musik dalam film ini yaitu Eros Djarot, Chrisye, dan kawan-kawan. Nah sekarang kita akan mencoba mencari benang merah yang menghubungkan Eros dengan seseorang di negeri seberang. Keduanya memiliki kumis yang menawan.
Ada semacam garis tipis yang sering kali menghubungkan tokoh-tokoh dari lintas negara dan lintas zaman. Mereka tidak pernah bertemu, mungkin tidak pernah membaca atau mendengarkan karya satu sama lain, bahkan tidak tahu bahwa kelak nama mereka akan disejajarkan. Tapi ada sesuatu dalam sikap hidup, dalam pilihan untuk berdiri di jalur yang keras kepala, yang membuat keduanya terasa seperti berada dalam satu keluarga spiritual. Begitulah jika kita bicara tentang Erros Djarot dari Indonesia dan Lu Xun dari Tiongkok.
Sekilas mereka tampak berbeda. Erros lahir dari rahim republik muda Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari kolonialisme, sedang mencari bentuk demokrasi, dan penuh intrik politik. Lu Xun lahir lebih dulu, di Tiongkok awal abad ke-20, di tengah keruntuhan Dinasti Qing, perlawanan terhadap feodalisme, dan kegelisahan modernitas. Jarak waktu mereka puluhan tahun, jarak ruang mereka ribuan kilometer. Tapi jika melihat ke dalam jiwa keduanya, kita menemukan pola yang mirip: seniman yang tidak pernah puas hanya dengan keindahan karya, karena bagi mereka seni selalu bersinggungan dengan politik, dengan penderitaan rakyat, dengan suara yang terabaikan.
Erros dikenal publik Indonesia lewat musiknya. Album Badai Pasti Berlalu bukan sekadar karya pop, melainkan pernyataan zaman: tentang luka, harapan, dan cara bangsa ini bertahan dari badai sosial. Film-filmnya, seperti Tjoet Nja' Dhien, tidak berhenti di level estetika, tapi menghidupkan kembali roh perlawanan. Di luar itu, Erros juga seorang Marhenis sejati, seorang pemegang teguh ajaran Bung Karno. Ia pernah berada dekat dengan lingkaran Megawati, tapi hubungan itu akhirnya pecah karena Erros tidak mau tunduk pada pragmatisme politik. Ia lebih memilih jadi ideolog yang berdiri di luar pagar istana, ketimbang menjadi pejabat yang nyaman tapi kehilangan marwah.
Lu Xun menempuh jalan berbeda tapi dengan gema yang sama. Ia awalnya belajar kedokteran di Jepang, tapi berhenti setelah sadar bahwa mengobati tubuh tak cukup jika jiwa rakyat tetap sakit oleh feodalisme dan kebodohan. Ia lalu memilih pena sebagai senjata.
Cerpen-cerpennya seperti Catatan Harian Seorang Gila dan Kisah Nyata Ah Q adalah pukulan telak terhadap tradisi usang yang menindas rakyat kecil. Lu Xun tidak pernah duduk di kursi pejabat tinggi, ia tidak masuk ke lingkar kekuasaan partai, tapi suaranya begitu menggema hingga setelah wafat, Partai Komunis Tiongkok menjadikannya semacam pahlawan budaya.
Di sinilah persinggungan keduanya: sama-sama seniman yang menolak jinak. Eros bisa saja diam, hidup tenang sebagai musisi atau sutradara, tapi ia memilih bersuara tentang marhaenisme, tentang bagaimana cita-cita Bung Karno tidak boleh dikhianati. Lu Xun pun bisa saja sekadar jadi dokter atau penulis sastra halus, tapi ia memilih jalur yang lebih berisiko: menulis kritik sosial yang membuatnya dibenci penguasa. Mereka tahu harga yang harus dibayar: terbuang dari pusat kuasa, tidak pernah masuk ke dalam lingkaran yang nyaman, tapi justru di sanalah letak integritasnya.