Museum ini bukan untuk saya. Saya ingin anak cucu dan generasi muda bisa belajar dan berani mengubah nasibnya.--- Arman Yahya
Pagi itu hawa Kaliurang terasa sejuk. Kami sarapan ditemani nasi goreng lengkap dengan teh dan kopi hangat di Pendopo di Songgo Langit yang berbentuk joglo.
Sesuai janji, seusai sarapan saya diajak Pak Arman Yahya naik lift menuju lantai Mezanine, langsung ke Museum Anaia & Alisha. Hanya berdua, percakapan pun mengalir ringan, kadang serius, kadang penuh canda.
Saya pertama-tama memotret pak Arman di salah satu titik favorit pilihan: peta besar di dinding berjudul 'The World.' Peta itu seakan menjadi pengingat bahwa Nusantara sejak dahulu adalah pusat dunia, bukan sekadar gugusan pulau di khatulistiwa.
Sebelum perbincangan dimulai, Pak Arman sempat tersenyum lalu melempar pertanyaan ringan kepada saya.
"Bagaimana menurut Anda, cara Mbak Ocha membawakan tur di museum kemarin?" tanyanya sambil berjalan santai menuju panel display di dekat gambar Marcopolo.
Saya menjawab jujur, bahwa Mbak Ocha membawakannya dengan cukup baik. Penjelasannya lengkap, runtut, bahkan cukup mendalam bagi saya yang sebelumnya hanya tahu beberapa jenis rempah. Ia mengaitkan sejarah dengan benda dan gambar yang ada di ruang pamer, sehingga cerita terasa hidup.
Pak Arman mengangguk, tampak puas dengan jawaban itu. Lalu ia menambahkan, "Sebagian besar karyawan di museum dan juga di resto Anaia dan Asliha ini memang warga sekitar. Saya ingin memberdayakan masyarakat lokal, memberi mereka ruang belajar dan bekerja. Hanya Mbak Ocha yang harus bolak-balik dari Yogya. Tapi saya percaya, kombinasi tenaga lokal dan tenaga terlatih dari luar bisa membuat museum ini berkembang."
Ketika saya menyinggung alasan memilih tema rempah, Pak Arman menegaskan, "Saya tidak mau jadi follower. Museum seni, budaya, adat sudah banyak. " Pak Arman juga menambahkan bahwa Rempah inilah yang mengukir sejarah Nusantara. Dulu rempah lebih berharga dibanding emas, sama berharganya dengan minyak bumi sekarang, atau seperti nikel atau kandungan logam jarang lain untuk energi masa depan.
Nama museum ini pun penuh makna personal. "Anaia dan Alisha itu nama dua cucu perempuan saya. Masih balita, bahkan Alisha baru belasan bulan. Saya ingin legacy, bukan untuk saya, tapi untuk generasi muda dan masa depan bangsa," katanya sambil tersenyum. Ketika saya gali lebih lanjut mengenai kedua cucu perempuan itu, kemudian terungkap bahwa mereka bukan kakak beradik kandung, melainkan saudara sepupu.
Dalam obrolan lebih jauh, Pak Arman mengungkapkan satu hal yang menarik. Selama ini ia dikenal sebagai pengusaha perhotelan, namun anak-anaknya tidak ada yang mau melanjutkan bisnis ini.
"Saya tidak mau membebani mereka dengan bisnis yang belum tentu mereka cintai. Makanya saya memilih menjual bisnis hotel dan membuat museum ini. Bagi saya, inilah warisan sesungguhnya," ujarnya. Inilah salah satu alasan mengapa Ia lebih suka memberi nama museum rempah ini dengan nama kedua cucu perempuannya.
" Dengan demikian cucu-cucu saya akan tahu, bahwa kakeknya pernah meninggalkan sesuatu yang lebih besar: pengetahuan dan harapan."
Topik kami kemudian beralih ke sejarah pembangunan museum yang lumayan berliku dan panjang . Lahan dibeli pada 2015, namun pembangunan fisik enam lantai---termasuk rooftop dan joglo---baru rampung 2023. Soft opening dilakukan pada Mei 2025. "Tidak mudah mendapatkan izin untuk membangun museum," aku beliau, "tapi akhirnya beres juga."