Menunggu yang Merah
Selepas makan, sebagian memilih kembali ke kamar untuk beristirahat sejenak, sementara saya dan Yanto tetap duduk bersama Pak Arman dan Pak Mangun, tetangga yang tinggal di seberang museum. Obrolan kami mengalir dari sejarah rempah ke kisah gerhana, dari filosofi hidup ke situasi politik dan ekonomi yang kian memanas.
Jam delapan malam, sang rembulan sudah menggantung di langit, bulat sempurna, tapi terkadang masih malu-malu di balik awan. Jam sembilan, awan menipis. Jam sepuluh, langit bersih, bulan semakin tinggi. Bulan seperti lentera yang menyala di tengah malam, dikelilingi bintang yang berkelip terang terutama ketika lampu-lampu taman di Songgo Langit dipadamkan.
Kami menunggu, dalam hening yang sesekali pecah oleh desah kagum. Angin dingin berhembus kian kencang, sesekali saya berlindung di dekat rumah joglo atau gazebo yang ada di rooftop ini, lumayan untuk melindungi tubuh dari terpaan angin.
Darah di Wajah Bulan
Pukul sebelas lewat tiga puluh delapan, bayangan bumi mulai merambat perlahan menelan rembulan. Lambat tapi pasti, cahayanya terkikis, membentuk lengkung gelap yang makin melebar.
Menjelang pukul 12.30 malam, bulan yang tadinya memantulkan cahaya perak, kini memerah. Seperti bara yang menyala dari dalam. Blood Moon. Namanya terdengar garang, tapi saat menatapnya, yang terasa justru sunyi. Inilah gerhana bulan total yang kami tunggu-tunggu. Ada sesuatu yang sakral di sana---seperti doa yang diucapkan semesta tanpa suara.
Kami diam. Angin malam menyelinap di antara jaket dan kulit, tapi kami tetap tak bergeming. Menyaksikan bulan yang pelan-pelan tenggelam dalam merahnya sendiri. Jam terus merayap. Malam Kaliurang kian dingin. Rasa kantuk yang tadi ditahan-tahan kembali menyeruak.
Saat bulan masih berbalut kegelapan yang memerah, kami turun dari Songgo Langit dengan langkah pelan, membawa rasa syukur karena telah sempat menyaksikan fenomena alam yang luar biasa ini dari tempat yang juga istimewa: Songgo Langit di atap Museum Rempah.
Rempah dan Langit
Sebelum tidur, saya berpikir tentang dua hal yang mendominasi hari ini: rempah dan langit. Dua dunia yang berbeda, tapi terhubung oleh satu benang: kesabaran. Rempah mengajarkan bahwa aroma dan rasa hanya bisa lahir dari waktu. Langit mengingatkan bahwa keindahan hanya hadir bagi mereka yang mau menunggu.
Dan malam ini, di Songgo Langit, saya belajar tentang keduanya. Blood Moon telah berlalu, tapi kesannya tak akan pudar. Di atas rooftop yang menyangga langit, di tengah udara Kaliurang yang dingin, kami menjadi saksi kecil dari puisi besar yang ditulis semesta. Sebuah puisi yang hanya bisa dibaca oleh mata yang mau menatap, dan hati yang mau merenung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI