Di sudut, sebuah papan besar bertuliskan Songgo Langit berdiri tegak, menyapa tamu dengan kesan sederhana namun hangat. Nama itu sendiri sudah cukup puitis---penyangga langit---membuat imajinasi terbang pada rasa berada di tempat tinggi yang dekat dengan cakrawala. Di situ pengunjung antre untuk sekadar berfoto atau membuat video untuk diunggah ke media sosial.
Area duduknya ditata dengan gaya santai. Ada bean bag berwarna cerah, juga meja-meja kecil tempat pengunjung bisa meletakkan kopi hangat atau sepiring gorengan. Tak hanya sekadar tempat singgah, Songgo Langit seperti memang dirancang untuk menjadi ruang bersama: bercengkerama, tertawa, atau sekadar berdiam diri memandangi hamparan hijau di kejauhan.
Setelah mampir ke museum diantar oleh Mbak Ocha, kami dijamu makan siang yang sudah dipesan sebelumnya. Kami duduk di pojok teras dengan kursi berukir bermotif dua ekor kuda yang cantik.
Di meja, hidangan mulai tersaji: udang rempah, sop buntut, ayam bekakak dengan bumbu yang meresap hingga ke serat daging, dan berbagai jenis minuman segar termasuk secangkir dengan nama yang cukup menggoda imajinasi: Semar Mesem.
"Namanya unik," kata saya sambil tersenyum.
"Ya," jawab Bu Nita, "Semar itu bijak, mesem itu senyum. Jadi kalau minum ini, harusnya hati jadi adem."
Kami tertawa, lalu saya meneguknya. Rasanya seperti perjalanan: segar, berlapis, ada hangat yang merayap dari tenggorokan ke dada. Saya membayangkan para pelaut yang dulu berlayar ribuan mil hanya untuk membawa pulang rempah-rempah ini. Betapa kuat daya tariknya, sampai memicu perang, persekutuan, dan sejarah yang membentuk dunia.
Hari itu Minggu. Pengunjung ramai. Ada keluarga muda dengan anak-anak yang sibuk berlarian, remaja yang tampak tekun mencari sudut foto terbaik untuk TikTok dan Instagram. Dan memang, setiap sudut di sini seperti panggung visual: mural satwa, balkon klasik mirip Hotel Homann, kursi berukir relief kuda, dan tentu saja panorama Gunung Merapi yang jadi latar pemandangan.
Tangga Menuju Langit
Menjelang senja, kami kembali naik ke lantai empat. Pemandangan terbuka lebar: lembah yang terhampar seperti permadani hijau, punggung Merapi yang gagah dengan selimut awan tipis, dan langit yang perlahan berganti warna dari biru ke jingga, lalu ke ungu yang tenang.
Kami duduk di kursi mengelilingi meja membiarkan waktu berjalan seperti aliran air. Angin sore berembus, membawa aroma dedaunan basah. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, diiringi kabut tipis yang turun, membelai lembut punggung gunung.
Di meja, makan malam sederhana disajikan. Bu Lily datang dengan hidangan khas rumahan tradisional Jawa dari Omah Garengpoeng, ditambah sate khas Kaliurang yang dipesan Bu Nita. Kami makan sambil sesekali bercerita dan mengenang masa lampau, membahas masa kini, dan terkadang meramal masa depan. Sejenak saya alihkan pandangan ke arah langit yang semakin pekat.