"Pak Erwin dan Bu Lily akan datang sore hari nanti," kata Pak Arman memulai pembicaraan. Sementara kami berniat malam ini akan menginap di sini untuk melihat gerhana bulan, Mbak Yuli akan pulang sore ke Imogiri.
Pak Arman kemudian mengajak kami sejenak keliling bangunan museum yang cukup megah ini.
Kami keluar dari lobi dan memandang bangunan ini secara keseluruhan. Bentuk lantai atasnya sekilas mirip Hotel Homann di Bandung. Fasad depannya berhias balkon bersusun yang diselimuti tanaman gantung. Belakangan saya tahu bahwa ada tanaman labu di balkon ini.
Di bagian tengah, sebuah menara kaca silindris berdiri tegak, memantulkan cahaya langit kelabu Kaliurang. Tepat di bawahnya, sebuah mural besar membentang, menghadirkan wajah-wajah satwa yang menatap kami: seekor badak, orangutan yang menggenggam batang kayu, gajah yang tenang, dan harimau yang seperti siap melompat dari dinding. Mereka diam, tapi terasa bicara---tentang hutan, tentang waktu, tentang hidup yang harus terus bertahan.
Berjalan mendekat kembali ke gedung, saya melihat papan informasi dengan judul "Satwa yang Kita Lindungi" yang menampilkan enam hewan langka Nusantara: Tapir, Orangutan, Badak Bercula Satu, Komodo, Harimau Jawa, dan Gajah Sumatra.
Di bawahnya ada pesan penting: "Agar mereka tetap tinggal di habitatnya", mempertegas bahwa museum ini tidak hanya bicara tentang rempah, tapi juga punya misi konservasi alam.
Kami diajak Pak Arman memasuki Pala Pala Resto, sebuah ruangan multifungsi di Museum Anaia & Alisha, yang bisa digunakan untuk fine dining atau acara ulang tahun dan pernikahan. Terlihat sebuah panggung kecil dengan backdrop merah bertuliskan PALAPALA Resto, dihias ornamen bunga di bagian atas dinding, serta kursi rotan putih di atas karpet merah.
Ruangan ini cukup luas, dengan lantai berpola kotak abu-abu mengilap, dan dinding kaca besar yang menghadap ke pepohonan hijau di luar, sehingga suasananya segar sekaligus elegan.
Dengan menggunakan lift, kami langsung menuju lantai empat yang merupakan rooftop bangunan megah ini.
"Ini dia ikon yang menjadi daya tarik museum ini," ujar Pak Arman lagi.
Dari Songgo Langit, mata akan langsung tertuju pada bentangan bukit hijau yang tampak seperti dinding raksasa alami. Pepohonan lebat menjulang, berpadu dengan langit luas yang kadang biru jernih, kadang berawan kelabu, menghadirkan suasana yang selalu berubah namun tetap menenangkan. Udara pegunungan yang sejuk berembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan menyegarkan setiap tarikan napas. Duduk santai sambil memandang panorama ini membuat siapa saja merasa seolah sedang berdialog langsung dengan alam.