"Ah, kapan lagi bisa melihat prosesi prajurit dan gunungan dari dalam keraton," batin saya. Dengan langkah mantap, saya pun masuk ke kompleks keraton.
Gerbang Keraton: Aroma Sejarah dan Riuh Manusia
Waktu menunjukkan pukul 08.30. Menurut jadwal, acara dimulai pukul 09.00. Suasana sudah sangat ramai. Kursi-kursi di pendopo penuh, sebagian pengunjung duduk di lantai atau di bawah pepohonan. Saya memilih duduk di dekat pohon. Walau tidak kebagian kursi, saya tetap bisa menyaksikan prosesi dari jarak dekat.
Suasana keraton terasa semakin hidup. Sejenak, saya menatap pendopo luas dengan atap seng kemerahan yang tampak dimakan usia, namun justru di situlah letak keindahannya. Warna cat hijau tua pada tiang-tiang besi berpadu dengan lantai batu yang licin, menciptakan nuansa yang tenang di tengah keramaian.
Di salah satu sudut, ada bangunan kecil seperti gardu yang tampaknya digunakan untuk menyimpan perlengkapan kebersihan. Halamannya dilapisi lantai tegel bermotif klasik. Di depannya, orang-orang duduk santai---sebagian sibuk dengan ponsel, sebagian lagi bercakap sambil menunggu acara dimulai. Petugas PMI juga tampak siaga, menandakan bahwa keramaian hari ini bukan keramaian biasa. Ini Grebeg Maulid, salah satu tradisi besar Keraton Yogyakarta.
Kebanyakan pengunjung duduk di pendapa besar dengan tiang kayu jati yang menjulang. Lantainya bersih mengilap. Di sudut lain, beberapa abdi dalem duduk bersila, mengenakan busana surjan dan blangkon. Wajah mereka teduh, gerakannya pelan, seperti patung hidup yang menjaga aura keraton.
Saya memandang sekeliling. Barisan kursi merah di bawah pohon besar dipenuhi pengunjung yang menunggu prosesi. Mereka datang dari berbagai penjuru, ada yang membawa kipas lipat, ada yang sibuk memotret, ada yang bercakap antusias. Semua mata tertuju ke arah Bangsal Kencana, pusat upacara Grebeg Maulid.
Di kejauhan tampak gerbang utama keraton dengan ornamen khas hijau dan putih, berhias lambang kerajaan yang megah. Bendera merah putih berjajar, menambah kesan khidmat. Di dalam bangsal, seperangkat gamelan tertata rapi. Suara nada pelog pelan mulai mengalun, mengisi ruang dengan rasa sakral.
Di seberang sana, ada pendopo dengan tiang berukir emas menyangga atap joglo. Di bawahnya, sebuah mobil antik hitam diletakkan seperti benda pusaka---saksi bisu perjalanan keraton, pertemuan antara tradisi dan modernitas. Kontras yang menarik: di satu sisi gamelan kuno, di sisi lain mobil klasik, berdampingan di satu ruang yang sama.
Langit berawan, sesekali matahari muncul. Sinar jatuh di lantai batu yang licin, menciptakan kilauan samar. Suara gamelan kini semakin jelas, temponya bertambah. Jantung saya ikut berdegup, prosesi besar sebentar lagi dimulai. Pengunjung bersiap menyambut keluarnya bregada prajurit keraton.