Malam sudah lumayan larut ketika rombongan Wisata Kreatif Jakarta tiba di Lasem Boutique Hotel, di Karang Turi, Kota Tua Lasem.
Kendaraan langsung parkir di halaman dengan pohon-pohon rindang dan beberapa lampion merah yang tergantung di beranda hotel bergoyang pelan, seolah menyambut kami kembali ke masa lalu.
Mas sopir yang sudah dengan setia menemani kami sejak pagi dari stasiun Tawang di Semarang dengan sigap menurunkan tas dan koper serta beberapa karyawan hotel pun siap membantu.
Kami segera menuju resepsionis untuk mendapatkan kunci. Sebelas orang, lima kamar karena Bu Ellen dan keluarganya bertiga satu kamar. Sementara Mbak Ira harus menginap di hotel lain karena hotel ini penuh.
Sekilas konpleks hotel terletak di lahan yang cukup luas dan terdiri dari beberapa bangunan. Menurut mbak Ira, hotel ini dulunya merupakan rumah Tionghoa kuno yang direstorasi, sementara sebagian gedungnya merupakan bangunan baru yang dirancang dengan gaya menyesuaikan bangunan lama.
Sambil menunggu pembagian kunci, saya melihat sekitar ruangan resepsionis yang tidak terlalu luas dan merupakan bagian bangunan asli. Dindingnya dicat putih tanpa hiasan, lantainya ubin atau tegel kuno tanpa motif serta langit-langitnya dari kayu. Hanya ada meja resepsionis sederhana dan sebuah komputer.
Namun yang menarik perhatian adalah sebuah tempat tidur antik dari kayu jati warna coklat dengan ornamen ukiran yang cantik warna emas. Sebuah ranjang kayu beratap, dengan dinding berukir di tiga sisi. Bukan ranjang biasa. Ini ranjang Tiongkok kuno, yang dulu biasa digunakan keluarga kaya di Tiongkok Selatan. Ranjang ini adalah ranjang antik dengan ukiran bergambar burung hong dan dedaunan yang cantik.
Sayav pun merasa tidak terlalu asing dengan bentuk ranjang antik ini. Saya pernah melihatnya di pulau Madura atau lebih tepatnya di Sumenep. Bentuknya mirip dengan pola ukiran dan warna yang lebih jreng. Ranjang Madura biasanya tidak memiliki ukiran burung atau hewan melainkan bentuk bunga atau dedaunan. Warna merah dadu, hijau muda atau biru muda juga biasanya lebih mendominasi .
Saya tahu keduanya berasal dari budaya yang berbeda, tapi entah kenapa... mereka seperti saudara jauh yang akhirnya bertemu kembali dalam lamunan di Lasem.
Persinggungan Dua Budaya, Di Atas Ranjang
Ranjang Tiongkok ini, seperti juga ranjang Madura, lebih dari sekadar tempat tidur. Ia adalah ruang privat, ruang kelahiran dan bahkan terkadang tempat kematian. Dulu di Tiongkok, ranjang semacam ini disebut opium bed atau canopy bed---biasanya dibuat dari kayu cendana atau jati, berat dan penuh ornamen. Di Madura, ranjang serupa disebut "bale gede" atau ranjang gebyok, dan sering diwariskan antar generasi sebagai pusaka keluarga.
Keduanya dibuat dengan fungsi dan filosofi yang nyaris identik: sebuah rumah di dalam rumah. Tempat seorang perempuan hamil, melahirkan, menyusui, istirahat dan bahkan, ranjang ini juga menjadi tempat terakhir seseorang sebelum dikafani.
Yang membuat saya terpesona adalah betapa dua budaya berbeda---Tiongkok dan Madura---bisa menciptakan bentuk yang begitu mirip tanpa saling meniru secara sadar. Ataukah mereka memang pernah saling bersentuhan?
Sementara Lasem, bagaimanapun, adalah pelabuhan tua tempat para saudagar Tiongkok, Arab, dan Nusantara saling berlayar dan bertukar budaya.
Hotel Ini Bukan Sekadar Tempat Menginap
Saya menginap di lantai dua, di kamar paling ujung. Derap langkah kami cukup ramai malam itu berpadu dengan roda koper yang digeret.
Kamar saya sederhana tapi penuh nuansa: tembok tebal, langit-langit tinggi, dan sebuah jendela kayu besar yang bisa dibuka ke luar.
Esok pagi begitu saya membuka jendela, halaman depan tampak dari atas. Pepohonan tua berjajar rapi, lampion merah tergantung di antaranya, bergoyang pelan ditiup angin pagi. Tak ada suara bising, tak ada klakson. Hanya suara dedaunan, dan kadang-kadang, derak sepeda melewati jalan di depan hotel.
Keesokan paginya, setelah kembali dari jalan jalan keliling Lasem naik sepeda, saya kembali ke kamar melewati koridor lantai dua yang sepi.
Di koridor itu, saya melihat barisan foto dan gambar dengan kutipan-kutipan inspiratif. Salah satunya membuat saya berhenti cukup lama. Di dinding tergantung gambar bergaya kontemporer: dua perempuan berkebaya encim membawa payung, berjalan berdampingan. Di tengah mereka, seorang lelaki menuntun sepeda, mengenakan caping petani, celana pendek, dan sandal jepit. Teks di bawah gambar itu berbunyi:
"If we cannot end our differences, at least we can help make the world safe for diversity."
--- John F. Kennedy
Saya tak tahu kenapa, tapi kalimat itu terasa sangat cocok dengan suasana Lasem, kota kecil yang menyimpan terlalu banyak perbedaan---dan menyatukannya dalam harmoni yang hening.
Kolam Renang Tanpa Air
Ketika menuju tempat sarapan di serambi belakang, saya melalui sebuah kolam renang, kecil, lumayan cantik namun kosong tidak ada air. Tentu saja tak ada seorang pun yang berenang. Tidak ada jejak kaki basah, tidak ada handuk tergantung. Kolam itu seperti simbol ironi: dibangun dengan niat modern, tapi tak benar-benar dibutuhkan.
Saya tersenyum dalam hati. Siapa yang datang ke Lasem untuk berenang? Lasem bukan Bali. Ia bukan tempat untuk berselancar atau berjemur. Lasem adalah tempat untuk diam dan menyimak---membaca masa lalu lewat kayu, ukiran, keramik, dan wangi kopi lelet.
Ruang Makan
Salah satu tempat di hotel ini yang paling suka adalah ruang makan. Letaknya di samping kolam renang. Bentuknya, terutama atap dan langit-langitnya mengingatkan saya akan suasana penginapan di film-film silat yang sering saya tonton ketika unur belasan tahun. Meja-meja kayu ditata dengan sekenanya, namun tetap serasi denagh kursi-kursi yang juga terbuat dari kayu. Di atasnya tergantung lampion, kipas angin tua, dan aroma masakan rumahan. Di pagi hari, cahaya matahari masuk dari sela atap dan menciptakan bayangan pepohonan di lantai ubin.
Di sini, menu sarapan pagi nya sederhana namun nikmat. Kebetulan sedang berlangsung acara Workshop Jurnalisme Arkeologi dengan tema Lasem, Museologi & Heritage.
Ranjang yang menjadi Jembatan Budaya
Setiap kali melewati resepsionis, Saya kembali memandangi ranjang Tiongkok di resepsionis. Saya tidak hanya melihat bentuk dan ukirannya, tapi saya membayangkan kisah-kisah yang pernah terjadi di atasnya. Mungkin di ranjang ini pernah menyimpan cerita kelahiran, kematian, cinta yang dirahasiakan, dan air mata yang tertahan.
Di sinilah Lasem membuat saya takjub: membuat yang berbeda menjadi mirip, membuat yang jauh terasa dekat. Ranjang Tiongkok di hotel ini telah mengingatkan saya kembali dengan Madura---dan saya merasa sedang duduk di persimpangan sejarah yang sunyi.
Saya tak tahu siapa yang pertama membuat ranjang berpilar dan beratap itu---Tiongkok atau Madura. Tapi mungkin itu bukan soal siapa meniru siapa. Mungkin itu adalah soal bagaimana manusia, di mana pun, butuh ruang yang sakral, teduh, dan penuh kasih untuk hidup.
Dan kadang, ranjang tua di sebuah hotel bisa mengajarkan lebih banyak tentang sejarah, keluarga, dan kemanusiaan... dibandingkan dengan buku sejarah mana pun.
Lasem, Akhir Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI