Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Asyiknya Naik Sepeda di Waktu Pagi di Lasem

9 Juli 2025   00:45 Diperbarui: 9 Juli 2025   00:45 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Silakan pakai sepedanya." Suara itu datang dari seorang pria paruh baya---mungkin sekitar empat puluhan---karyawan Lasem Boutique Hotel, tempat kami menginap di jantung kota tua Lasem. Hotel berarsitektur bangunan gaya Tionghoa ini  masih sepi pagi itu, baru jam enam.

Sepeda : dokpri 
Sepeda : dokpri 

Di salah satu sudutnya, tiga sepeda berwarna hijau pastel berjajar rapi. Modelnya klasik, dengan keranjang di depan dan sadel cokelat yang serasi---seolah menunggu untuk membawa siapa pun menyusuri lorong-lorong sejarah kota ini.
Saya  mengangguk sambil senyum dan mulai mengendarai sepeda  perlahan. Jalanan masih lengang. Saya  keluar dari hotel, belok kiri, lalu belok kiri lagi ke Jalan Karangturi, salah satu poros tua Lasem yang dulunya menjadi jalur penting perniagaan dan permukiman para saudagar Tionghoa.

Tak lama, saya  tiba di Jalan Raya Pantura. Tapi alih-alih terus ke barat, saya berbalik arah, kembali menyusuri Jalan Karangturi, lewat depan hotel lagi, dan terus menelusuri gang-gang kecil. Jalanan yang saya lalui  masih sunyi. 

Jalan karang turi: dokpri 
Jalan karang turi: dokpri 

Rumah-rumah tua berjejer di kiri-kanan, temboknya putih tinggi, sebagian mengelupas dimakan waktu. Daun pintu kayu model lama terpasang rapi di antara gapura-gapura rendah dengan atap melengkung seperti kelenteng.

Beberapa pintu menampilkan tulisan Hanzi empat huruf, khas rumah tradisional Tionghoa. Lasem memang dikenal sebagai "Tiongkok kecil" karena sejak ratusan tahun lalu, para imigran dari Fujian dan Guangdong menetap di sini, hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa.

Tembok Dhuwur: dokpri 
Tembok Dhuwur: dokpri 

Kembali ke jalan Karang Turi, saya terpesona dengan jalan sempit yang diapit tembok warna putih, lengkap sang kursi dan tiang lampu jalanan.
Di dekat pertigaan pada dinding sebelah kanan ada terlukis kata-kata; "Festival Tembok Dhuwur".
Festival  tembok dhuwur yang secara harfiah bermakna tembok tinggi merupakan Festival budaya lokal yang digelar tiap tahun di kawasan ini, merayakan keberagaman Lasem dan merawat sejarah melalui kesenian, kuliner, dan ziarah ke situs-situs warisan budaya.

Rumah merah: dokpri 
Rumah merah: dokpri 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun