"Silakan pakai sepedanya." Suara itu datang dari seorang pria paruh baya---mungkin sekitar empat puluhan---karyawan Lasem Boutique Hotel, tempat kami menginap di jantung kota tua Lasem. Hotel berarsitektur bangunan gaya Tionghoa ini masih sepi pagi itu, baru jam enam.
Di salah satu sudutnya, tiga sepeda berwarna hijau pastel berjajar rapi. Modelnya klasik, dengan keranjang di depan dan sadel cokelat yang serasi---seolah menunggu untuk membawa siapa pun menyusuri lorong-lorong sejarah kota ini.
Saya mengangguk sambil senyum dan mulai mengendarai sepeda perlahan. Jalanan masih lengang. Saya keluar dari hotel, belok kiri, lalu belok kiri lagi ke Jalan Karangturi, salah satu poros tua Lasem yang dulunya menjadi jalur penting perniagaan dan permukiman para saudagar Tionghoa.
Tak lama, saya tiba di Jalan Raya Pantura. Tapi alih-alih terus ke barat, saya berbalik arah, kembali menyusuri Jalan Karangturi, lewat depan hotel lagi, dan terus menelusuri gang-gang kecil. Jalanan yang saya lalui masih sunyi.
Rumah-rumah tua berjejer di kiri-kanan, temboknya putih tinggi, sebagian mengelupas dimakan waktu. Daun pintu kayu model lama terpasang rapi di antara gapura-gapura rendah dengan atap melengkung seperti kelenteng.
Beberapa pintu menampilkan tulisan Hanzi empat huruf, khas rumah tradisional Tionghoa. Lasem memang dikenal sebagai "Tiongkok kecil" karena sejak ratusan tahun lalu, para imigran dari Fujian dan Guangdong menetap di sini, hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa.
Kembali ke jalan Karang Turi, saya terpesona dengan jalan sempit yang diapit tembok warna putih, lengkap sang kursi dan tiang lampu jalanan.
Di dekat pertigaan pada dinding sebelah kanan ada terlukis kata-kata; "Festival Tembok Dhuwur".
Festival tembok dhuwur yang secara harfiah bermakna tembok tinggi merupakan Festival budaya lokal yang digelar tiap tahun di kawasan ini, merayakan keberagaman Lasem dan merawat sejarah melalui kesenian, kuliner, dan ziarah ke situs-situs warisan budaya.