"Silakan pakai sepedanya." Suara itu datang dari seorang pria paruh baya---mungkin sekitar empat puluhan---karyawan Lasem Boutique Hotel, tempat kami menginap di jantung kota tua Lasem. Hotel berarsitektur bangunan gaya Tionghoa ini masih sepi pagi itu, baru jam enam.
Di salah satu sudutnya, tiga sepeda berwarna hijau pastel berjajar rapi. Modelnya klasik, dengan keranjang di depan dan sadel cokelat yang serasi---seolah menunggu untuk membawa siapa pun menyusuri lorong-lorong sejarah kota ini.
Saya mengangguk sambil senyum dan mulai mengendarai sepeda perlahan. Jalanan masih lengang. Saya keluar dari hotel, belok kiri, lalu belok kiri lagi ke Jalan Karangturi, salah satu poros tua Lasem yang dulunya menjadi jalur penting perniagaan dan permukiman para saudagar Tionghoa.
Tak lama, saya tiba di Jalan Raya Pantura. Tapi alih-alih terus ke barat, saya berbalik arah, kembali menyusuri Jalan Karangturi, lewat depan hotel lagi, dan terus menelusuri gang-gang kecil. Jalanan yang saya lalui masih sunyi.
Rumah-rumah tua berjejer di kiri-kanan, temboknya putih tinggi, sebagian mengelupas dimakan waktu. Daun pintu kayu model lama terpasang rapi di antara gapura-gapura rendah dengan atap melengkung seperti kelenteng.
Beberapa pintu menampilkan tulisan Hanzi empat huruf, khas rumah tradisional Tionghoa. Lasem memang dikenal sebagai "Tiongkok kecil" karena sejak ratusan tahun lalu, para imigran dari Fujian dan Guangdong menetap di sini, hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa.
Kembali ke jalan Karang Turi, saya terpesona dengan jalan sempit yang diapit tembok warna putih, lengkap sang kursi dan tiang lampu jalanan.
Di dekat pertigaan pada dinding sebelah kanan ada terlukis kata-kata; "Festival Tembok Dhuwur".
Festival tembok dhuwur yang secara harfiah bermakna tembok tinggi merupakan Festival budaya lokal yang digelar tiap tahun di kawasan ini, merayakan keberagaman Lasem dan merawat sejarah melalui kesenian, kuliner, dan ziarah ke situs-situs warisan budaya.
Saya terus mengayuh belok kiri masuk ke Gang IV, dan akhirnya sampai di sebuah rumah megah berwarna merah mencolok---Rumah Merah. Gerbangnya kokoh, berdinding tinggi dengan dua singa penjaga di sisi pintu kayu yang tampak antik. Di atas pintu tertulis nama: Oei Sien Tjo. Ini adalah salah satu rumah warisan saudagar Lasem, yang kini menjadi bagian dari kompleks Rumah Merah Heritage Lasem.
Di sisi gerbang, terpampang poster besar bertuliskan "Museum & Galeri Batik Tiga Negeri Lasem" yang baru saja diresmikan. Tertulis bahwa peresmiannya dilakukan oleh Ibu Katharine Grace, istri Menteri Kebudayaan, pada 29 Januari 2025, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek. Lasem memang salah satu pusat penting batik pesisir.
Batik bukan sekadar produk kerajinan, tapi juga warisan lintas budaya yang hidup.
Pintu Rumah Merah pagi itu masih tertutup rapat. Saya hanya berdiri di depan pintunya, mengamati ukiran kayu dan warna merahnya yang menyala. Rencananya nanti siang kami akan berwisata ke sini untuk melihat lebih dalam.
Saya kembali mengayuh dan sampai di jalan raya. Tepat di seberang ada sebuah bangunan kuno yang lumayan menarik perhatian. Warnanya hijau putih. Bangunan ini dikenal sebagai Rumah Ijo. Arsitekturnya bergaya kolonial, dengan jendela-jendela besar dan menara kecil di salah satu sudut.
Saya kemudian menuntun sepeda di trotoar, memperhatikan deretan pot bunga dan ubin kuno yang masih terawat.
Di seberangnya berdiri bangunan lain yang juga penuh cerita: Roemah Oei. Bangunan yang dulu milik saudagar Oei ini sekarang menjadi ruang budaya dan tempat menikmati kopi lelet. Pagi itu, suasana di depannya hening. Hanya terdengar suara burung dan sesekali deru sepeda motor dari kejauhan.
Saya terus mengayuh sepeda hingga tiba di alun-alun kota Lasem. Dari kejauhan tampak sebuah masjid besar berdiri tenang: Masjid Baiturrahman. Bangunan berlantai dua dengan menara yang menjulang, menandai pusat spiritual masyarakat kota ini. Saya berhenti sebentar, memarkir sepeda di dekat gerbang.
Saya masuk ke halaman dan melihat prasasti kecil bertuliskan syair tembang Jawa karya Sunan Bonang. Salah satu baitnya tertulis:
Tambo ati iku ana limang perkoro,
kaping pisan maca Qur'an lan maknane...
Saya membaca pelan dalam hati. Pagi yang damai, udara sejuk, dan suasana masjid yang lengang membuat bait itu terasa menyusup langsung ke dalam dada. Ada semacam rasa haru yang muncul begitu saja.
Setelah itu saya mengayuh lagi ke arah utara dan tiba di kompleks Masjid Jami yang menjadi pusat kegiatan ziarah di kota ini. Bangunannya besar, atapnya limasan tumpang tiga, dengan dua menara berwarna kecoklatan. Di tepi jalan ada prasasti bertuliskan
"Makam Mbah Sambu (Sayyid Abdurahman) dan Tiga pendiri NU. Ternyata kompleks masjid ini juga menjadi tempat peristirahatan tokoh-tokoh penting dalam penyebaran Islam di Lasem.
Saya tak sempat masuk untuk berziarah, hanya lewat di depan gerbangnya. Tapi keberadaan makam itu sudah cukup menggetarkan. Mbah Sambu dikenal sebagai salah satu wali yang meneruskan ajaran Sunan Bonang di kawasan pesisir utara. Ziarah di sini bukan sekadar ritual, tapi perjumpaan batin dengan warisan kebijaksanaan yang menembus zaman.
Saya kembali menuntun sepeda, di tepi jalan raya Daendles dan kemudian mengarah kembali ke Jalan Karangturi.
Saya melihat Gapura Kampoeng Heritage Karangturi---gerbang bergaya Tionghoa dengan warna merah menyala, atap pagoda, dan tulisan "Kampoeng Heritage Desa Karang Turi Anno 1800". Ternyata ini adalah jalan yang sebelumnya sempat saya kunjungi di awal perjalanan.
Dari sana, saya bertemu dengan satu titik penting lainnya: sebuah bangunan tinggi bercat putih dengan tulisan besar Pondok Pesantren Kauman. Tertulis juga bahwa tempat ini adalah Kantor Pusat Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren Se-Indonesia. Saya benar-benar tak menyangka bahwa di kota sekecil Lasem, berdiri pesantren yang punya peran nasional.
Pagi ini, saya tak hanya mengayuh sepeda, tapi juga melintasi ragam wajah Lasem: wajah Tionghoa, wajah pesantren, wajah spiritual, wajah rumah tua yang menua dengan anggun.
Rute saya belum selesai. Saya teruskan kayuhan hingga mendekati sungai kecil yang membelah kota. Di ujung jalan, berdiri megah sebuah bangunan berwarna merah dadu.
Inilah Kelenteng Poo An Bio, salah satu kelenteng tertua di Lasem. Gerbangnya dihiasi ukiran naga, patung singa emas, dan aksara Hanzi besar di bagian atas.
Saya berdiri sejenak di depannya. Aroma dupa tipis mulai terasa. Tak ada keramaian di pagi hari, hanya suara sapu dan langkah kaki para penjaga kelenteng. Saya tak masuk, hanya berdiri dan menunduk. Di sini, saya benar-benar merasakan kehadiran sejarah yang tidak mati---ia hidup dalam bentuk rumah ibadah, pesantren, gang-gang sempit, bahkan sepeda tua yang saya kayuh sejak tadi.
Jam sudah menunjukkan lewat pukul tujuh. Saya putar balik dan kembali ke hotel. Perjalanan ini bukan hanya keliling kota. Ia adalah ziarah, dalam arti paling dalam. Ziarah terhadap memori, terhadap keberagaman, terhadap harmoni yang nyata---bukan slogan.
Lasem mengajarkan saya bahwa rumah ibadah bisa berdampingan dalam jarak belasan meter. Bahwa rumah tua tak harus ditinggalkan. Bahwa kota kecil bisa menyimpan cerita besar tentang toleransi, budaya, dan spiritualitas. Dan semuanya bisa disaksikan cukup dengan mengayuh sepeda di pagi hari.
Saya kembalikan sepeda itu ke tempat semula. Pria tadi masih ada, kini sedang menyiram tanaman di pojok taman. Saya hanya mengangguk padanya sambil mengucap terima kasih. Tak banyak yang saya bawa pulang, selain rasa tenang dan syukur yang tak bisa dibungkus kata-kata.
Lasem, kota kecil yang mewarisi jejak besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI