Saya terus mengayuh belok kiri masuk ke Gang IV, dan akhirnya sampai di sebuah rumah megah berwarna merah mencolok---Rumah Merah. Gerbangnya kokoh, berdinding tinggi dengan dua singa penjaga di sisi pintu kayu yang tampak antik. Di atas pintu tertulis nama: Oei Sien Tjo. Ini adalah salah satu rumah warisan saudagar Lasem, yang kini menjadi bagian dari kompleks Rumah Merah Heritage Lasem.
Di sisi gerbang, terpampang poster besar bertuliskan "Museum & Galeri Batik Tiga Negeri Lasem" yang baru saja diresmikan. Tertulis bahwa peresmiannya dilakukan oleh Ibu Katharine Grace, istri Menteri Kebudayaan, pada 29 Januari 2025, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek. Lasem memang salah satu pusat penting batik pesisir.
Batik bukan sekadar produk kerajinan, tapi juga warisan lintas budaya yang hidup.
Pintu Rumah Merah pagi itu masih tertutup rapat. Saya hanya berdiri di depan pintunya, mengamati ukiran kayu dan warna merahnya yang menyala. Rencananya nanti siang kami akan berwisata ke sini untuk melihat lebih dalam.
Saya kembali mengayuh dan sampai di jalan raya. Tepat di seberang ada sebuah bangunan kuno yang lumayan menarik perhatian. Warnanya hijau putih. Bangunan ini dikenal sebagai Rumah Ijo. Arsitekturnya bergaya kolonial, dengan jendela-jendela besar dan menara kecil di salah satu sudut.
Saya kemudian menuntun sepeda di trotoar, memperhatikan deretan pot bunga dan ubin kuno yang masih terawat.
Di seberangnya berdiri bangunan lain yang juga penuh cerita: Roemah Oei. Bangunan yang dulu milik saudagar Oei ini sekarang menjadi ruang budaya dan tempat menikmati kopi lelet. Pagi itu, suasana di depannya hening. Hanya terdengar suara burung dan sesekali deru sepeda motor dari kejauhan.
Saya terus mengayuh sepeda hingga tiba di alun-alun kota Lasem. Dari kejauhan tampak sebuah masjid besar berdiri tenang: Masjid Baiturrahman. Bangunan berlantai dua dengan menara yang menjulang, menandai pusat spiritual masyarakat kota ini. Saya berhenti sebentar, memarkir sepeda di dekat gerbang.
Saya masuk ke halaman dan melihat prasasti kecil bertuliskan syair tembang Jawa karya Sunan Bonang. Salah satu baitnya tertulis:
Tambo ati iku ana limang perkoro,
kaping pisan maca Qur'an lan maknane...
Saya membaca pelan dalam hati. Pagi yang damai, udara sejuk, dan suasana masjid yang lengang membuat bait itu terasa menyusup langsung ke dalam dada. Ada semacam rasa haru yang muncul begitu saja.