Dejima adalah sebuah pulau buatan kecil di teluk Nagasaki. Jepang membangunnya pada tahun 1636 untuk menampung para pedagang asing agar mereka bisa berdagang tanpa bercampur dengan warga lokal. Setelah Portugis diusir, tempat ini diambil alih oleh Belanda dan dijadikan satu-satunya tempat mereka boleh berdagang di Jepang.
Saya membaca sepotong-sepotong kisah tentang Dejima sambil berjalan pelan, membaca papan-papan informasi yang tersebar di titik-titik strategis. Bahasanya ringkas, dilengkapi gambar, dan bahkan ada yang dilengkapi ilustrasi.
Di salah satu papan itu tertulis bahwa Dejima dulunya benar-benar terpisah dari daratan, dikelilingi air seperti parit atau kanal pengaman. Bahkan, Belanda hanya boleh masuk lewat satu jembatan yang dijaga ketat. Sekarang kanalnya sudah dipersempit, tapi bentuk pulau aslinya tetap ditandai dengan jelas.
Bangunan Kayu, Jejak Zaman Edo
Saya juga menikmati keindahan deretan bangunan bergaya Jepang kuno, beratap gelap, berdinding putih dan kayu. Bangunan ini direkonstruksi dengan sangat teliti. Ada kantor dagang utama, asrama pejabat VOC, gudang besar, dan bahkan klinik tempat dokter Belanda dulu bekerja.
Kami menyusuri lorong-lorong kayu dan masuk ke beberapa ruangan yang sekarang menjadi ruang pamer. Di dalamnya, ada perabotan lama, rekonstruksi meja tulis lengkap dengan lampu minyak, serta gulungan peta dan buku catatan dalam bahasa Belanda.
Yang paling menarik perhatian kami adalah satu ruangan besar dengan lukisan kota besar yang tertata rapi dengan kanal dan pelabuhan. Kami mendekat dan membaca tulisan di sudutnya:
"The City of Batavia in the Island of Java and Capital of All the Dutch Factories and Settlements in the East Indies" London, 1818 -- Whittle and Laurie
Kami saling berpandangan. Batavia? Bukankah itu... Jakarta?