Saya terus menyusuri gang itu, dan tak lama kemudian, pemakaman Pandu terbuka di hadapan saya. Tidak ada pintu gerbang, tidak ada penjaga resmi. Karena saya masuk dari pintu samping tidak resmi dan langsung masuk ke dunia batu nisan dan nama-nama tua.
Makam yang Rapat dan Bisik-bisik Sejarah
Sama seperti rumah orang hidup, jarak rumah orang mati di sini pun nyaris tanpa sela, jalan setapak begitu sempit sehingga hanya bisa dilewati satu orang. Beberapa bagian makam bahkan saling bertumpuk, seakan-akan kisah di bawah tanah belum sempat selesai sebelum kisah baru ditambahkan.
Saya berjalan perlahan, membaca nama-nama. Banyak yang berbau Tionghoa, seperti Oei, Tan, atau Lim. Ada juga nama-nama dengan marga Batak---Sitorus, Simanjuntak, Sinulingga , Sitompul. Dari sisi lain, nama-nama Manado dan Ambon juga muncul, bahkan nama Belanda dan Jerman menghiasi beberapa nisan tua. Ini bukan sekadar pemakaman. Ini adalah buku sejarah terbuka, halaman demi halaman dalam batu. Ini juga membuktikan bahwa Bandung juga pernah menjadi kota yang begitu kosmopolitan dalam sisi demografi.
Uniknya di salah satu pusara saya juga membaca nama Marlin Monru Assa yang lahir pada 1962 dan wafat 2013. Nama ini mengingatkan saya akan nama artis terkenal pada zaman baheula.
Mencari Nama: Alex Mendur
Sebenarnya saya punya satu tujuan khusus: mencari makam Alex Mendur. Nama ini saya dengar sejak lama. Bersama kakaknya, Frans Mendur, ia dikenal sebagai jurnalis dan fotografer legendaris. Karya mereka yang paling terkenal adalah foto-foto proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tanpa mereka, sejarah Indonesia hanya akan berupa teks tanpa gambar.
Saya menyusuri area makam tanpa peta, hanya mengandalkan naluri dan keinginan untuk menemukan sesuatu. Hampir setengah jam saya berjalan tanpa arah, hingga akhirnya saya bertemu dengan seorang pria berkaus merah, membawa sapu dan tampak akrab dengan makam-makam di sekitarnya.
Pak Rana, Penjaga Sejak 1978
Namanya Pak Rana, usianya 65 tahun, dan mengaku sudah bertugas di Pandu sejak 1978. Ia tidak seperti penjaga resmi dengan seragam dan papan nama, tapi jelas dari bahasa tubuh dan tutur katanya bahwa ia adalah bagian dari makam ini. Ia tahu persis posisi makam, sejarah para penghuni, dan bahkan kisah-kisah yang tak tertulis.
"Pak, saya cari makam Alex Mendur," kata saya.
"Oh, yang itu fotografer itu ya? Iya... iya, saya tahu. Sini saya tunjukkan," ujarnya sambil berjalan cepat melewati sisi dan batu nisan. Ia melompat bagaikan kijang walau usianya sudah tidak muda lagi dan saya sedikit terengah mengimbangi irama langkah kakinya .
Kami berhenti di depan makam sederhana. Sebuah batu nisan putih dengan tulisan warna hitam:
"Tuhan adalah Gembalaku, Mazmur 23"
"Alex I. Mendur, lahir : 7 Nopember 1907, wafat 30 Desember 1984"
Di dekat makam ada dinding warna putih yang menurut Pak Rana dulunya bertuliskan informasi mengenai Alex Impurung Mendur.
Dahulu, kata Pak Rana, ada penjelasan tentang sosok Alex Mendur, tapi sekarang sudah hilang---terhapus oleh waktu dan cuaca. Hanya bekasnya yang tersisa samar-samar.