Yang luar biasa hanyalah para suporter. Mereka datang jauh-jauh, bayar mahal, tetap bernyanyi saat gawang bocor enam kali.
Mereka bukan bodoh. Mereka tahu timnya sedang kacau. Tapi mereka tetap bernyanyi, bukan karena tidak peduli, tapi karena cinta mereka lebih besar dari kecewa.
Dan justru karena cinta itu, mereka pantas marah.
BAB VII: Sindiran untuk Siapa Saja yang Masih Merasa "Semua Baik-Baik Saja"
Untuk pelatih yang menyusun strategi sambil scroll HP:
Sudah waktunya belajar dari tim Asia lain yang serius.
Korea, Jepang, bahkan Vietnam bukan hanya bikin tim---mereka membangun budaya.
Untuk federasi yang masih sibuk selfie dan rapat formalitas:
Sepak bola itu soal kerja sistemik. Bukan soal "seremoni" launching pelatih baru.
Untuk pemain yang merasa aman karena sudah "Eropa look":
Main bola itu soal otak, bukan soal gaya rambut.
BAB VIII: Haruskah Kita Selalu Kalah Dulu Baru Belajar?
Kekalahan telak ini seharusnya jadi titik balik. Tapi sayangnya, kita sudah terlalu sering bilang "titik balik", sampai bentuknya lebih mirip lingkaran kegagalan.
Kita putar-putar di situ saja:
*Ganti pelatih euforia awal mulai kacau kalah telak ganti lagi.
*Naturalisasi pemain harapan membuncah kalah telak "proses bro" ulang lagi.
Sampai kapan?
Penutup: Bola Itu Bundar, Tapi Sistem Kita Masih Tumpul