"Di negeri sepak bola tak berkembang, kekalahan telak dianggap ujian. Padahal kadang itu peringatan bahwa sistemnya yang sakit, bukan nasib yang buruk."
Osaka, 10 Juni 2025.
Saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, kamera menyorot ribuan wajah optimistis di tribun penonton. Jersey merah menyala. Sorak-sorai membahana. Beberapa bahkan sempat membentangkan spanduk besar bertuliskan "GEBER GARUDA---Pantang Mundur!"
Dari layar kaca, suasananya begitu membakar semangat. Ada harapan. Ada semangat. Bahkan sempat trending di media sosial: #TandangRasaKandang.
Sayangnya, setelah 90 menit, yang terasa justru: kita bertanding seperti tamu yang lupa bawa bekal.
BAB I: Dimulainya Opera Osaka
Peluit ditiup.
Jepang langsung tancap gas. Kombinasi antar pemain seperti simfoni musim semi: presisi, rapi, cepat.
Indonesia? Baru mulai orientasi lapangan. Mungkin masih jet lag, mungkin juga hanya belum tahu siapa yang harus dijaga dulu: Kamada, Kubo, Machino, atau nasib sendiri?
Baru menit ke-15, Daichi Kamada membuka skor. Sundulan ringan tapi mematikan. Lima menit berselang, Kubo menambah gol kedua lewat kemelut yang terlalu mudah.
Indonesia? Baru keluar dari garis tengah. Bukan menyerang, tapi mengatur napas.
BAB II: Strategi Dadakan dan Substitusi Tambal Sulam
Cedera Kevin Diks mengharuskan masuknya Yakob Sayuri di menit 26. Tapi Yakob juga hanya sempat "ikut lari-lari kecil", sebelum cedera dan diganti Marselino di menit 41.
Sudah seperti sinetron bola: keluar satu, masuk dua.
Kita bingung mau menyesuaikan pola atau menyewa dukun pijat.
Kluivert tak panik. Mungkin karena ia memang tidak merencanakan apa pun.
Beliau tampak duduk, sesekali berdiri, lalu duduk lagi. Mungkin menunggu wangsit atau notif dari GPS strategi.