Di pagi yang masih basah oleh embun dan sibuk oleh langkah-langkah tergesa, kereta listrik komuter line meluncur dengan tenang di atas rel. Setiap deru dan decit remnya mengandung satu janji: ketepatan, keterhubungan, dan harapan akan masa depan transportasi Indonesia yang lebih baik.
Di balik laju rangkaian KRL dan antrean panjang penumpang, ada satu kisah panjang yang kini didokumentasikan dalam sebuah buku penting: Masinis yang Melintasi Badai. Ditulis oleh Zulfikar Akbar, buku ini bukan sekadar biografi Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo --- ia adalah narasi reflektif tentang transformasi KAI, tantangan pandemi, dan bagaimana commuter line menjadi simbol kebangkitan nasional.
Didiek Hartantyo: Dari Badai ke Lintasan Inovasi
Ketika Didiek Hartantyo dilantik sebagai Direktur Utama KAI pada 8 Mei 2020, Indonesia sedang berada dalam cengkeraman pandemi COVID-19. Operasional terganggu, mobilitas terbatas, dan ketidakpastian mengintai seluruh sektor.
Namun Didiek memilih bertindak. Dalam buku tersebut ia menegaskan:
"Adaptasi, transformasi, dan sustainability menjadi dorongan untuk layanan kereta api yang lebih baik kepada masyarakat dan berkelanjutan."
Dalam situasi sulit, ia mengutamakan tiga hal: keselamatan karyawan, keberlanjutan layanan, dan kepercayaan pelanggan. Digitalisasi dipercepat. Protokol kesehatan dijadikan standar. Bahkan dalam keadaan terbatas, inovasi justru dilahirkan.
Dan hasilnya terasa --- terutama pada commuter line yang menjadi urat nadi bagi lebih dari satu juta penumpang harian Jabodetabek dan sekitarnya.
100 Tahun KRL: Dari Batavia ke Modernitas
Tahun 2025 menandai satu abad usia kereta listrik di Indonesia. Dimulai pada 6 April 1925, jalur Tanjung Priok--Meester Cornelis (kini Jatinegara) menjadi rute listrik pertama di Asia Tenggara. Kini, stasiun Tanjung Priuk dan Jakarta Kota berdiri sebagai penanda masa itu, saksi bisu perjalanan panjang kereta di negeri ini.
Modernisasi pun terus bergulir. Armada lama digantikan oleh rangkaian buatan PT INKA maupun impor dari CRRC China. Kereta-kereta baru lebih senyap, luas, ramah disabilitas, dan dilengkapi dengan fitur keamanan seperti CCTV serta pengumuman multi-bahasa.
Stasiun juga tak luput dari pembaruan. Manggarai kini menjadi stasiun sentral model transit. Stasiun Tanah Abang, Cisauk, dan Tanjung Barat makin tertib, aman, dan nyaman. Semua ini menjadikan commuter line bukan lagi alternatif yang hanya terjangkau, tapi menjadi pilihan utama.
Ignasius Jonan: Arsitek Reformasi Rel
Transformasi ini tidak terjadi dalam semalam. Sosok Ignasius Jonan adalah kunci awal reformasi KAI sejak 2009. Saat itu, KAI masih bergulat dengan calo, penumpang di atap kereta, kereta kotor, jadwal tidak pasti, dan sistem tiket manual.
Jonan mengubah semuanya dengan pendekatan manajerial disiplin dan etos pelayanan publik. Ia kerap berkata:
"Transportasi yang baik tidak hanya soal teknologi, tapi soal ketertiban dan kepercayaan."
Seluruh sistem ditata ulang: e-ticketing, peron yang steril, jadwal real-time, dan peremajaan armada. Pengaruhnya menyentuh hingga KRL. Kini, Jonan bahkan memuji penggantinya:
"Saya senang sekali dapat bersama satu panggung dengan pengganti saya Bapak Didiek Hartantyo sebagai Direktur Utama PT KAI yang luar biasa dalam topik Marketing Technology for Business. Saya juga sangat bangga bahwa Bapak Didiek Hartantyo dipilih menjadi Marketer of The Year 2024."
Pengakuan dari Jonan ini mempertegas bahwa commuter line sedang berada di rel yang benar.
Dari Citayam ke Tanjung Priuk: Mimpi Rute Tanpa Transit
Tapi infrastruktur belum selesai. Salah satu masalah utama commuter line adalah ketergantungan pada simpul padat seperti Manggarai, Tanah Abang, dan Duri. Hal ini menciptakan bottleneck yang memperlambat konektivitas.
Maka wacana dan harapan akan jalur-jalur baru terus bergema:
Citayam--Nambo--Cikarang,- jalur semi-melintang yang dulu sempat diwacanakan, sangat potensial untuk menghubungkan selatan dan timur Jabodetabek tanpa harus transit di Manggarai.
Jalur ini sebenarnya pernah dicanangkan dagulu sebagai jalur Lingkar Luar Jakartadimana dari Cikarang atau Cakung akan dilanjutkan ke Tanjung Priuk dan dari Citayam akan terus masuk ke kawasanTangerang hingga Parung Panjang.
Rasanya sudah waktunya untuk mewacankan jalur ini kembali sehingg dari Bogor ke Tangerang tidak sah lagi lewat Manggrai dan Duri serta dari Tangerang ke Tangsel juga tidak usah lagi transit Tanah Abang.
Jika rute-rute ini terwujud, commuter line akan lebih fungsional --- tidak sekadar radial ke Jakarta, tapi membentuk jejaring perkotaan seperti model di negara maju. Setidaknya mirip dengan Mushashino line di Jepang.
Kota-kota Besar Lain Juga Berhak
Hingga kini, layanan commuter line hanya tersedia di lintasan Yogyakarta--Solo selain Jabodetabek. Tapi bagaimana dengan kota-kota besar lain?
* Bandung memiliki populasi padat dan suburbanisasi tinggi. Jalur Bandung--Padalarang atau Bandung--Rancaekek bisa dikembangkan menjadi commuter line reguler.
* Surabaya sebagai kota kedua terbesar, memiliki potensi untuk koneksi Gubeng--Sidoarjo--Bangil sebagai lintas komuter.
* Semarang, Medan, dan bahkan Palembang (dengan LRT-nya) pun bisa dikembangkan menjadi sistem rel dalam kota yang efisien.
Pemerataan pembangunan transportasi massal berbasis rel akan menurunkan ketergantungan pada kendaraan pribadi, dan memperkuat ekonomi daerah.
Tak Ada Lagi Perlintasan Sebidang
Di kota-kota besar dan daerah padat permukiman, perlintasan sebidang tidak bisa lagi ditoleransi. Bahaya, kemacetan, dan risiko kecelakaan terlalu tinggi. Dalam banyak negara, ini sudah lama ditinggalkan.
Solusinya:
Jalur layang (elevated) seperti yang kini digunakan di lintas Manggarai--Kota., dan/ atau