Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Luka yang Dipoles & Kemunafikan Kolektif

25 April 2025   11:48 Diperbarui: 25 April 2025   13:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Kadang saya tak tahu lagi apakah sedang hidup di negara yang digadang-gadang besar dan hebat atau sedang terjebak dalam panggung sandiwara yang terus diulang."

Beberapa minggu terakhir saya merasa gamang. Kegamangan yang bukan karena cuaca atau kesibukan, melainkan karena realitas negeri ini terasa semakin kabur. Kita mendengar kabar tentang kontroversi ijazah palsu, makan siang gratis yang  jadi ajang perdebatan, pengangguran muda yang kian membesar, dan di tengah itu semua, muncul figur-figur yang menjual agama untuk popularitas dan keuntungan kelompok.

Sementara itu, di sisi lain layar, kita terus menyebut-nyebut mimpi besar: Indonesia Emas 2045. Kita seakan sepakat bahwa bangsa ini tengah menuju puncak kejayaan. Tapi benarkah demikian?

Saya tidak bermaksud meremehkan mimpi itu. Tapi saya ragu, apakah kita sungguh sedang mendaki, atau sekadar memutari bukit yang sama---terjebak dalam masa lalu yang tak pernah kita selesaikan, dalam narasi sejarah yang tak pernah jujur kita akui.

Redefinisi Pahlawan!
Kita tahu, tidak semua yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan adalah pahlawan sejati. Dan bahkan seiring berjalannya waktu akan makin banyak lagi tokoh yang menyandang gelar pahlawan, bahkan pahlawan nasional.

Sebaliknya, ada banyak sosok yang benar-benar berjuang demi bangsa, memilih diam karena menolak tunduk pada narasi resmi. Mereka disingkirkan, dilupakan, dan bahkan difitnah. Lalu kita bertanya: siapa yang benar, siapa yang dibenarkan?
Kita adalah bangsa yang suka upacara, tapi enggan membuka luka. Kita lebih senang merayakan sejarah yang aman, ketimbang menyelami kenyataan yang getir. Sejarah kita rapi, tapi hanya di permukaan. Di dalamnya masih penuh luka yang sengaja kita poles.

Terjebak Dosa Lama, Hidup dalam Kemunafikan Kolektif
Bangsa ini belum pernah sungguh-sungguh mengakui kesalahan masa lalunya. Dari pembungkaman pemikiran kritis, pembersihan ideologi, penghapusan sejarah, hingga stigmatisasi terhadap kelompok tertentu---semua itu kita bungkus dengan istilah-istilah manis: rekonsiliasi, persatuan, stabilitas nasional.

Padahal kita tahu. Kita semua tahu.
Tapi kita diam. Dan dari diam itu lahirlah kemunafikan kolektif: kita pura-pura bangga, pura-pura paham, pura-pura damai.

Feodalisme dalam Wajah Baru
Kita ingin bergerak maju, tapi tetap mengandalkan cara-cara lama. Kita menolak feodalisme, tetapi terus memelihara dinasti. Kita bicara meritokrasi, tapi tetap memilih berdasarkan koneksi dan loyalitas. Feodalisme kini tak lagi datang dalam bentuk keris dan blangkon---ia datang seperti bekatul: halus, nyaris tak terlihat, tapi menyusup ke mana-mana.

Kita membanggakan demokrasi, tapi masih mengandalkan patronase. Kita mengganti tokoh, tapi sistemnya tetap. Kita memilih pemimpin baru, tapi cara berkuasanya sama.

Kita Masih Cinta Simbol, Lebih dari Makna
Bangsa ini sangat suka simbol. Kita mencintai patung, gelar, pangkat, dan jargon. Kita rela bertengkar demi bendera, tapi enggan memperjuangkan kesejahteraan. Kita lebih peduli apakah seseorang memakai batik saat pidato, ketimbang apa yang ia perjuangkan dalam isi pidatonya.
Simbol telah menjelma jadi agama baru. Dan sayangnya, kita menyembahnya lebih dari kita menyembah kebenaran.

"Kami Pernah Salah" Adalah Kalimat yang Terlalu Sulit
Bangsa besar bukanlah bangsa yang selalu benar. Tapi bangsa yang mau mengakui ketika ia salah.
Namun di negeri ini, kalimat "kami pernah salah" seakan haram diucapkan. Kita lebih suka memalsukan catatan sejarah, daripada merendah untuk mengaku dan memperbaiki. Kita menulis ulang buku pelajaran, tetapi tidak menulis ulang kesadaran.

Dan dari sini kita sadar: Indonesia tidak kekurangan mimpi. Yang kita kekurangan adalah kejujuran.

Menuju Masa Depan Tanpa Melupakan Luka
Kalau kita sungguh ingin menuju "Indonesia Emas", maka langkah pertama bukanlah program makan siang gratis, bukan pula pembangunan stadion atau gelar profesor kehormatan. Langkah pertama adalah: keberanian untuk melihat masa lalu apa adanya.
Bukan untuk membenci. Tapi untuk memahami. Untuk menyembuhkan. Untuk melepaskan bangsa ini dari trauma kolektif yang diam-diam menghambat setiap langkah kita.

Menutup dengan Pertanyaan yang Tak Selesai
Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh bangsa. Tapi kita bisa mulai dari diri sendiri. Dengan bertanya: apakah saya hidup dalam narasi yang jujur, atau saya bagian dari kebohongan yang diwariskan?
Kita tidak butuh lebih banyak tugu peringatan. Kita butuh ruang jujur---untuk berpikir, untuk berdialog, dan untuk saling mendengar.
Dan hanya bangsa yang berani memandang wajahnya sendiri, yang pantas bermimpi tentang wajah masa  depan.

Kadang sebagai individu kita bisa sangat baik dan menjanjikan, tetapi ketika menjadi kolektif kita akan terjebak di dalam kemunafikan tadi. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun