Tujuan Orde Baru adalah mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas praktik pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama, atau dengan kata lain melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kemudian sesuai dengan kurikulum 1975, pelajaran Kewarganegaraan diganti lagi dengan nama yang lebih mentereng yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap lebih ideal menghasilkan warga negara bermoral Pancasila yang dapat memenuhi target pembangunan nasional Orde Baru.
Bahkan sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN), pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menyimak materi pendidikan moral yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Maka setiap pegawai negeri kala itu harus mengikuti penataran P4 yang juga memiliki nama keren Eka Prasetya Pancakarsa.
Posisi PMP dalam kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta kemudian dipertegas kembali dalam TAP MPR 1983.
Namun pada perkembangan selanjutnya, banyak kebijakan menteri yang mengubah kurikulum sehingga menimbulkan banyak masalah bagi pelaksanaan kegiatan pengajaran PMP.Â
Salah satunya adalah gebrakan Mendikbud Nugroho Notosusanto yang memasukkan pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) ke dalam Kurikulum 1984. Ternyata materi PSPB ini banyak tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP.
Setelah Orde Baru runtuh banyak yang menilai kurikulum era ini sangat sentralistik, sesak dengan doktrin dan sangat miskin dengan seni. Dan dengan runtuhnya Orde Baru, tamat pula nasib Pendidikan Moral Pancasila.
Namun di era sekarang ini, di mana kebebasan berpendapat dan banyaknya masuk paham dan ideologi dari luar membuat banyak orang yang ingin PMP dihidupkan kembali di sekolah. Salah satu tujuannya adalah untuk menangkal radikalisme.
Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Bisa saja benar pepatah Perancis yang mengatakan l'histoire se repete atau sejarah selalu berulang.
Sumber:Â
- Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, 2016
- Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Syahrial Syarbaini, Gahlia Indonesia.
Penulis adalah Dosen di Universitas Pelita Bangsa.