Untuk wilayah Sumatera Barat, PLN berencana menambah pembangkit listrik sebesar 2117 MW dari 2019 hingga 2025 yang artinya total pembangkit di Sumatera Barat menjadi 2931 MW. Nilai tersebut jauh diatas proyek RUED yang hanya 1880 MW, namun karena sifatnya yang teknis, RUPTL sangat mudah diperbaharui berdasarkan kondisi aktual. Wabah Covid-19 ini sepertinya akan mengubah RUPTL tahun depan dengan drastis. Pembagkit listrik tambahan tersebut sebagian besar direncanakan berasal dari pembangkit listrik energi terbarukan seperti PLTA dan PLT Panas Bumi. Hanya ada PLT Gas Uap yang juga lebih ramah lingkungan. Maka berdasarkan dokumen perencanaan ini, kami yakin bahwa yang dibutuhkan untuk  "Listrik Sumbar 100% Energi Terbarukan" hanyalah keberanian dan niat baik para pemimpin dan pengambil keputusan.
Â
Jika mengacu pada tabel RUED sebelumnya, untuk 100% energi terbarukan di Sumbar  pada 2050, Provinsi urang awak hanya butuh mencari pengganti untuk PLTU Batu Bara dan PLTG Gas. PLTU Batu Bara biasanya digunakan untuk memenuhi beban dasar yang nilainya tidak terlalu berubah pada kurva waktu. Sebagai pengganti untuk menyuplai beban dasar, Provinsi Sumatera Barat dapat menambah kapasitas PLTA, PLTM, maupun PLTP nya meski porsi ketika jenis pembangkit tersebut sudah cukup besar. Pembangkit listrik tenaga arus pasang surut juga dapat menjadi pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan baseload karena Provinsi Sumatera Barat memiliki garis pantai yang panjang serta langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Disisi lain, PLT yang digunakan untuk kebutuhan peaker dapat diganti dengan berbagai pembagkit energi terbarukan, sebagai contoh PLTS dan PLTB, yang dilengkapi elemen penyimpan energi seperti baterai atau waduk pump-storage, atau juga PLT Fuel Cell Hydrogen juga dapat menjadi pilihan yang lebih maju. Saat ini, nilai keekonomian PLT EBT dengan baterai maupun Fuel Cell Hydrogen memang masih mahal dan jauh dari pertimbangan namun jika kita melihat perkembangan teknologi mereka di dunia internasional, pada 2050 lagi harga keekonomian mereka akan jauh lebih rendah. Sehingga mendeklarasikan diri untuk memasang PLT Fuel Cell maupun PLT Pasang Surut Laut pada 2050 tidaklah sesuatu yang konyol dan berlebihan. Bahkan permasalahan transmisi dan distribusi dari PLT EBT intermitten yang dialami oleh PLN mungkin akan terpecahkan dalam beberapa tahun mendatang dengan nilai keekonomian yang makin murah.
Ada banyak keuntungan dengan mendeklarasikan kampanye atau menerbitkan aturan menuju "Listrik Sumbar 100% Energi Terbarukan". Yang paling utama dan penting tentu untuk menyelamatkan Bumi untuk anak cucu kita. Kita tahu bahwa Bumi semakin rusak dan mendatangkan marabahaya bagi kita, para peneliti meyakini bahwa perilaku tamak kita lah yang menjadi penyebabnya. Contoh perilaku tersebut seperti menebang hutan, menyebarkan gas CO2 dari kendaraan bermotor serta dari pembangkit listrik dari sumber fosil. Oleh karena itu pemerintah berbagai negara bahu membahu untuk memulai langkah besar penyelamatan bumi ini. Salah satu langkah terbesar tersebut adalah Paris Agreement dimana negara-negara berjanji akan menurunkan jumlah emisi karbon mereka. Presiden Joko Widodo ikut menandatangani  Paris Agreement dan meratifikasinya menjadi Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.  Komitmen Indonesia adalah mengintensifkan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen dengan sumber daya sendiri dan hingga 41 persen dengan dukungan internasional dari tahun 2030 BAU (Business As Usual) 2,87 gigaton CO2e, dimana 97,2 persen berasal dari sektor hutan, lahan, dan energi (kehutanan 17,2 persen, energi 11 persen, pertanian(0,32 persen, industri 0,10 persen, dan limbah 0,38 persen). Adapun untuk adaptasi, komitmen Indonesia meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem.
Adapun di bidang energi, sebenarnya Indonesia telah lebih dulu daripada Paris Agreement untuk menetapkan target porsi energi terbarukan yang besar dalam bauran energi primer Indonesia dalam rangka ikut menurunkan produksi emisi GRK dan juga untuk ketahanan energi nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan transformasi pada 2025 dan 2050, dengan bauran Energi baru terbarukan setidaknya 23 persen tahun 2025 dan 31 persen tahun 2050. "Listrik Sumbar 100% Energi Terbarukan" adalah langkah nyata dan tegas dalam perjuangan ini.
Selain demi kebaikan Bumi dan seisinya, pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber utama energi primer untuk listrik sangat berpengaruh positif pada keekonomian kelistrikan itu sendiri. Pada 2018, biaya pokok pembangkitan listrik (BPP) oleh PLN di Sumatera Barat sebagaimana yang tercantum pada Keputusan Menteri ESDM nomor  55K /20/MEM/2019 adalah sebesar Rp 1058 rupiah. Nilai tersebut sedikit lebih rendah dari biaya pokok pembangkitan listrik oleh PLN secara nasional yaitu sebesar Rp 1.119. Namun jika dibandingkan dengan BPP Jawa-Madura-Bali, BPP Sumbar masih lebih tinggi tujuh puluh rupiah. Nilai BPP Jawa-Madura-Bali menjadi paling murah di Indonesia karena semua provinsi di Jawa-Madura-Bali, sudah terhubung oleh jaringan tegangan ekstra tinggi dan ditopang oleh PLTU Batu Bara dengan ukuran sangat besar. Sementara Sumatera Barat juga sudah sudah terhubung pada sistem distribusi Sumatera dan ditopang oleh PLTA-PLTA besar sehingga jika dihitung dengan penambahan biaya eksternalitas dari PLTU, BPP Sumatera Barat seharusnya lebih murah.
Dengan simulasi menggunakan software Levelized Cost of Energy (LCoE) Calculator yang diterbitkan oleh Danish Energy Agency dan menggunakan proyeksi jenis pembangkit di Sumatera Barat pada 2050, didapatkan BPP Sumatera Barat pada 2050 tersebut sebesar    Rp 1.110 dengan nilai mata uang saat ini dengan asumsi terdapat penurunan harga teknologi dan potensi sumber daya energi primer di Sumatera Barat tersedia dengan mudah dan murah. Dengan menggunakan asumsi yang sama dan software yang sama, kami menyusun komponen pembangkit listrik Sumatera Barat pada tahun 2050 tanpa PLTU Batu Bara dan PLTG serta jumlah pembangkit yang sama namun 100% dari energi terbarukan (detail porsi pembangkit pada tabel dibawah), didapat BPP Sumatera Barat sebesar Rp 966 dengan nilai rupiah saat ini. Nilai tersebut lebih rendah dari BPP Sumatera Barat dengan skenario RUED sehingga dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan dapat menurunkan biaya pokok produksi dari pembangkit listrik di suatu sistem.
Untuk jangka menengah, pada dokumen RUPTL, kondisi baseline 2018 pembangkit di Sumatera Barat terlihat pada tabel dibawah. Pasokan listrik Sumatera Barat ditopang oleh PLTU, PLTG, dan PLTA. Porsi PLTU sendiri mencapai 50% dari total kapasitas terpasang saat ini.