Mohon tunggu...
Taufik Bilfaqih
Taufik Bilfaqih Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Yayasan Alhikam Cinta Indonesia | Politisi PSI

| Pembelajar |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politisasi Fasilitas Pemerintah & Teori Hegemoni Gramsci

13 Juli 2023   09:49 Diperbarui: 13 Juli 2023   10:04 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screanshoot Facebook

Artikel ini sebagai kritik atas kebiasaan penguasa Sulut dan sekitarnya terhadap kebijakan mengubah warna dan simbol serupa dengan lambang parpol. Tidak perlu dibaca serius. Karena bukan tulisan ilmiah. Tak perlu juga diterima dengan sikap tendensius, karena murni sebagai catatan refleksi semata.

Kita fokus ke Pemerintah Sulawesi Utara. Seingat Saya, saban ganti gubernur, maka semua fasilitas pemerintah, termasuk Badan Usaha Miliki Daerah (BUMD)nya, mulai dari gedung hingga alat transportasi selalu saja berubah warna cat dan semacamnya. Tidak perlu jauh-jauh, di era Sarundajang, bangunan sekolah, gedung pemerintah dan sebagainya list warna cat temboknya adalah biru. Itu karena Tokoh Sulut itu merupakan kader Partai Demokrat. 

Kini, sejak Olly Dondokambey berkuasa, maka semua berubah menjadi merah. Sebagaimana Gubernur dua periode ini adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P). Bahkan, selain fasilitas gedung dan kendaraan, pakaian seragam sekolah dan pegawai pemerintah, pada hari-hari khusus menggunakan corak berwarna mirip partai politik berlogo Banteng tersebut. Lebih jauh, dibeberapa gedung-gedung keagamaan pun mulai mengikuti trend yang sama, apalagi bila rumah ibadah itu terafiliasi dengan penguasa. Hal ini juga biasa disebut dengan politik warna

Alhasil, fenomena ini semacam menjadi kelatahan regional. Tak heran, hampir semua Kabupaten Kota di Sulut, memiliki kebijakan yang persis. Tentu, bila daerahnya dipimpin oleh kader Merah, maka merah-lah semua. Bila Biru atau Kuning yang berkuasa, demikianlah seperti adanya. Jarang, bahkan mungkin tidak ada daerah yang fasilitas-fasilitas pemerintah dan publiknya kontras dengan warna politik orang nomor satunya. Nampaknya, ini telah membudaya. Publikpun semacam memaklumi dan menganggapnya sebagai lumrah. 

Terkini, di Manado, sebagai ibukota Sulut, pun yang dinahkodai oleh Walikota dari PDI P, tidak hanya warna, lambang parpol pun mulai "dipaksa" untuk masuk pada simbol-simbol pemerintah. Seperti Mata Banteng PDI P yang "mencemari" logo Hari Ulang Tahun ke 400 Kota Manado. Berbeda dengan warna, simbol ini mendapat respon pro kontra di tengah-tengah masyarakat. Ada yang merasa risih, ada juga yang membela mati-matian. Meski pemerintah memiliki makna filosofi khusus terkait logo tersebut, tentunya publik membaca dengan kritis "modus" dibalik semua itu.

Apa dampak dari polarisasi dan politisasi seperti ini?

Untuk memahami hal tersebut, Saya menariknya ke teori Hegemoni. Teori yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) itu merupakan teori politik paling penting abad XX. Gramsci menelurkan gagasan ini ketika ia dipenjara hingga melahirkan buku dengan judul  "Selection from The Prissons Notebook" yang kini menjadi pisau analisis dalam mengkritik pembangunan. Baginya, untuk membuat kuasa, maka semua nilai dan norma milik penguasa harus dipatuhi dan disetujui. Yang dikuasai, harus mengamini semua kebijakan penguasa. Praktek inilah yang dimaksud Gramsci sebagai "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual, singkatnya disebut sebagai Hegemoni Politik Kekuasaan. Penerjemaahan ini tidak sekedar memahami Hegemoni layaknya gerakan dominasi kelompok satu terhadap kelompok lain. Justru hegemoni dalam maksud teori ini lebih radikal dari hal itu, yakni "merampas" ideologi yang lain dan menukarkan dengan ideologi penguasa, dan yang dikuasai pun menerimanya sebagai sebuah keharusan.

Cara seperti inilah yang menurut Gramsci mampu melanggengkan kekuasaan. Bila pun tak abadi, ia akan berumur panjang. Untuk menciptakan polarisasi tersebut biasanya akan digunakan dua kemungkinan, pertama, penguasa akan menggunakan perangkat negara dalam konteks penegakan hukum, seperti polisi dan militer. Kedua, ini yang lebih soft, dimana kekuasaan cukup dengan membujuk yang dikuasai melalui simbol-simbol, lembaga pendidikan, keluarga, keagamaan, pagelaran-pagelaran hingga tradisi setempat. Melalui kedua hal inilah kekuasaan dapat mempengaruhi kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan hukum masyarakat. 

Tetapi perlu diingat, teori hegemoni Gramsci ini lebih kepada situasi kebijakan yang terjadi secara konsensus. Tidak menggunakan kekerasan dan penindasan terhadap elemen yang lain. Dengan kata lain, penguasa akan mempengaruhi alias menggiring orang lain untuk menentukan sikap hidup berdasarkan ketentuan yang disiapkan mereka. Tidak ada produk lain yang diterima, selain konstruksi penguasa itu sendiri. 

Dengan demikian, Kita bisa menilai apa dampak dari polarisasi dan politisasi sebagaimana yang menjadi pertanyaan sebelumnya. Setidaknya ada beberapa hal;

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
    Lihat Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun