Sebelum menikah, saya tidak pernah memikirkanberapa jumlah anak yang saya inginkan ketika berkeluarga nanti. Saya tidakpernah menghitung antara rate income per month saya dan calon istridengan angka harapan hidup yang ada pada penduduk Indonesia. Selain tidakpintar statistika, lagipula tidak ada orang yang bertanya hal seperti itukepada saya ketika persiapan menikah. Kecuali mungkin jika ada anak-anak yangbermain rumah-rumahan, pertanyaan seperti itu mungkin akan muncul di permainankeluarga mereka, "eh, kamu pengennya punya anak berapa?" dengan lugutanpa memikirkan keadaan ekonomi lagi sulit, mereka menjawab "sebelass,biar bisa jadi tim sepakbola".
Namun, karena sedari kecil saya, dan mungkinpembaca, sudah didoktrin negara bahwa "dua anak cukup". Maka jawabandalam diri saya atas pertanyaan itu pun, "yahh, dua juga sudahcukup". Walaupun pada kenyataannya, saya diajarkan oleh agaman bahwa menikahitu membuka pintu-pintu rezeki, dan jangan khawatir jika banyak anak karenasetiap anak sudah dijamin rezekinya. Bertolak belakang bukan?! :) Beberapa kalikita temui bahwa apa yang disampaikan oleh agama tidak sejalan dengan apa yangmenjadi peraturan negara. Mohon maaf saya sampaikan kepada pembaca, agama yangsaya catut disini adalah Islam, sehingga peraturan yang berkenaan adalahbersumber dari kedua prinsip tersebut.
Dulu sekali, saya penasaran darimana munculnyaangka "2 anak" oleh negara. Apakah ada batasan pada jumlah orang yangdapat tinggal di negara atau planet ini?! Berapapun jumlah itu, prinsip yangpasti adalah ledakan penduduk dan ketidakkondusifan iklim politik akanmengakibatkan gejala sosial yang massive dan cenderung destruktif.Negara ini sudah dimiskinkan oleh hal kedua, dan jangan sampai hal yang pertamaikut menjerumuskan negara ini kearah kemiskinan absolute.
Hal ini mungkin bisa kita lihat dari hubungan antaraagama, negara, dan income masyarakat sebuah negara. Mungkin saja, negaramencermati angka 2, adalah karena negara dengan masyarakat yang rata-ratamemiliki anak 2 adalah negara yang cenderung makmur. Sekali lagi, mungkin saja.Gambar di bawah adalah nilai parameter dari negara-negara di dunia pada era1960an. Dimana pada kesimpulannya, negara dengan keluarga yang memiliki jumlahanak yang banyak adalah negara dengan pendapatan keluarganya bisa dibilangkecil. Dan sebaliknya, negara yang setiap keluarganya memiliki anak yangsedikit, adalah negara dengan pendapatan keluarganya jauh lebih besar. Hal inimembuktikan, bahwa tidak perlu menjadi "kaya" untuk mendapatkan banyak anak.
Nilai pada gambar di atas, didasarkan pula padaagama yang paling banyak dianut penduduk pada sebuah negara. Di era 1960an,kita melihat banyak negara dalam keadaan keluarga memiliki banyak anak danmemiliki monthly income pada tingkat terendah. Bereda dengan negara yang ada dilevel terendah "babies per woman",mereka memiliki tingkat monthly income yang cukup tinggi. Walaupun ada dataoutliers yang juga muncul, namun sangat jarang sekali terjadi. Dimungkinkankarena jumlah penduduknya juga yang sangat kecil.
Hal berbeda tampil di tahun 2010, banyak negarabergerak turun ke kanan. Dalam artian, banyak masyarakat memperkecil jumlahkelahiran, dan akhirnya berpengaruh pada penghasilnnya setiap bulan. Ataukah,kenaikan angka penghasilan pada akhirnya mempengaruhi jumlah kelahiran? Manayang lebih mungkin, jumlah kelahiran yang memengaruhi tingkat ekonomi? Atau,tingkat ekonomi pada akhirnya memengaruhi jumlah kelahiran?
Sebagai sebuah negara yang demokratis, tentunyaperaturan anak cukup 2 adalah himbauan dan bukan peraturan. Selama ini tidakada batasan bahwa jumlah anak harus disesuaikan dengan income yang didapatkan keluarga. Namun, disadari atau tidak, keduanyasaling berkaitan dua arah (two way tailed).Variabel lainnya pun bisa jadi memengaruhi, seperti tingkat pendidikan, faktorketurunan, kondisi geografis, maupun faktor budaya masyarakat.
Hak atas jumlah anak tentunya setiap keluarga yanglebih berhak menentukan, mau 1 ataupun 11, adalah hak setiap keluarga. Negara memangmenghimau, tentu untuk kemaslahatan kondisi sosial dan potensi geografis yangdimiliki Indonesia. Agama memang menjamin, tentu diiringi dengan tanggung jawabyang juga lebih besar.
Malang, April 2017