Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memelihara Ancaman, Kehilangan Rahmat

5 Juli 2021   23:48 Diperbarui: 5 Juli 2021   23:58 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti diketahui, baru-baru ini situasi pandemi seakan memasuki jilid ke-2. Kalau dahulu kita tidak asing dengan istilah PSBB, sekarang kita tentu mengenali istilah barunya yakni PPKM. Disaat sebelumnya banyak bantuan diupayakan untuk ada, serta upaya vaksinasi yang belum maksimal, kita tidak menemukan hasil yang diinginkan untuk bebas dari masa pandemi. Belum lagi, kita tentu juga jenuh dengan pertentangan yang berlebihan antara pihak pro dan kontra dalam menanggapi situasi pandemi ini.

Tapi sejak awal ada yang menarik tentang apa sih visi dan misi dari pemerintah sendiri di masa pandemi seperti ini? Kita sering mendengar kalimat-kalimat seperti "memutus rantai penyebaran virus", "lawan corona", ataupun kalimat-kalimat penyemangat sejenisnya. Yang dikatakan secara langsung oleh para orang berpengaruh atau yang tertulis dalam poster ataupun pamflet yang banyak tersebar di jagad ini. Uniknya, kita seperti diajak bertempur melawan ketidaktahuan. Kita diajak melawan musuh yang kita tidak diberikan banyak data untuk mengenalinya.

Sebelumnya, mungkin banyak tulisan telah saya buat terkait dengan hal-hal yang hampir mirip dengan maksud esai kali ini. Ketika saya coba posting di web pribadi, itu pun bukan karena saya ingin memberitahu, tetapi sebagai sebuah pengingat setidaknya bagi diri saya sendiri dalam menyikapi masa pandemi agar selalu dalam rel keyakinan yang saya yakini. Karena saya merasa tidak ada yang dapat saya jadikan pegangan, kecuali hidayah pengetahuan yang saya dapati melalui orang-orang tertentu yang tentu saja sumbernya hanya satu, Yang Maha Mengetahui, yang satu-satunya bisa saya jadikan tempat bergantungnya harapan diri.

Mengapa tidak menuruti saja himbauan yang telah dibuat? Jawabannya mungkin adalah ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan. Yang seolah bersembunyi dibalik ketidaktanggungjawabnya pihak-pihak tertentu. Yang menjadikan ketidakjelasan di kalangan masyarakat pada umumnya. Yang suka memelihara pertentangan daripada segera menyudahinya. Yang lebih suka politik transaksional, dibandingkan kemashalahatan rakyat yang seharusnya menjadi kewajiban utamanya.

Betul sekali jika kita telah mengalami eskalasi ilmu yang luar biasa, namun jangan ajak-ajak kita untuk selalu memelihara ketidakmampuan. Terutama dalam hal menyadari keeksistensian Sang Maha Tunggal. Kita negara muslim terbesar yang menjunjung "Ketuhanan Yang Maha Esa' sebagai sila pertama, namun kebiasaan dan pola hidup kita dibangun untuk menomersekiankan Tuhan. Apalagi kalau kita mendengar seruan untuk "laa tufsidu fil-ardh", kita seolah-olah merasa menjadi golongan "innama nakhnu mushlikhun". Seolah-olah di ayat berikutnya Tuhan menyindir, "Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari." (2:12)

Kita diajak melawan ancaman seolah sudah memiliki banyak pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap lawan di masa pandemi ini. Ancaman atas apa? Bukankah setiap hari kita tidak pernah sekalipun lepas dari ancaman karena segala sesuatu yang hidup sudah pasti adalah mangsa utama bagi kematian. 

Banyak energi habis, sumber daya yang tidak terbatas, bahkan materi yang tidak pernah tercukupi apabila kita berangan-angan untuk menghilangkan ancaman. Karena menghilangkan ancaman itu sendiri merupakan suatu keniscayaan. Orang-orang SAR atau tanggap bencana pasti paham betul tentang "ancaman", karena kita tidak akan pernah mengetahui kehendak semesta.

Satu hal yang bisa dijadikan pegangan adalah menjadikan segala bentuk keadaan merupakan bagian dari rahmatullah. Dan rahmat ini memiliki dimensi yang sangat luas yang tidak terbatas pada makna kenikmatan ataupun kesusahan. Bukankah kita juga pasti sudah banyak mendengar bahwa wabah atau thaun ini akan ditetapkan-Nya menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman?

Hanya saja karena yang terbangun stigma umumnya merupakan ancaman, kita jadi kehilangan akal untuk mengakses sabar dan ridho atas segala sesuatu yang sudah pasti tidak akan menimpa kita kecuali sudah menjadi suatu ketetapan bagi-Nya.Kita menjadi mudah resah dan cemas sehingga sedikit lupa cara untuk berbahagia. Yang menyebabkan diri pada akhirnya mudah dropped.

Inilah salah satu bagian kehidupan yang harus kita alami bersama. Kita semua merasakannya dan memiliki bentuk perjuangannya masing-masing dalam merespon segala sesuatunya, setidaknya untuk berupaya mensyukuri waktu kehidupan kita sendiri. Dan dalam fase ini, jangan sampai kita tidak menghormati segala bentuk ijtihad orang-orang yang telah berjuang dan gugur dalam bidang keahliannya. Lantas, masih sediakah kita selalu memelihara wabah ini sebagai suatu ancaman, bukan rahmat?

***

5 Juli 2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun