Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Aku" sebagai Wujud Kewaspadaan

1 Juni 2021   21:48 Diperbarui: 1 Juni 2021   22:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak sekali fenomena-fenomena yang menunjukkan seseorang dikatakan mabuk oleh agama. Sering kita melihat orang-orang yang dikenal dengan istilah "radikal", ada pula yang menunjukkan kemabukannya dengan banyak diam, dan ada pula fenomena yang mana seseorang seolah-olah mampu berbicara dengan Tuhan.

Hal tersebut ibarat buah yang tercipta bermacam-macam jenis dengan kenikmatannya. Semua mengandung kebenaran yang bisa dihikmahi. Bukan urusan kita untuk mencampuri selera orang lain.

Hanya saja, kita seringkali melihat subjek aku, saya, sebagai penggambaran yang sering dicontohkan untuk melihat hikmah yang terkandung. Penggunaan subjek "aku" bisa digunakan sebagai bentuk ketinggian hati ataupun kerendahan hati, itu tergantung kepada si penyampai pesannya. Bagi yang mendengar, usahakan hal itu menjadi latihan untuk berkhusnudzon.

Mungkin saja ada penggambaran, siapa "aku" hingga pantas mementaskan dialognya dengan Tuhan di depan umum? Seseorang hanya dapat mengatakan "aku" ketika dirinya telah menahan nafsu dan banyak belajar meninggalkan kata "aku".

Atau penggunaan "aku" juga bisa menjadi suatu bentuk penyatuan antara dirinya dan Aku sejati yang bersemayam di dalam ruh manusia. Namun, andaikata dirinya tak banyak mengalami dialektika, gejolak, ataupun dinamika pencarian proses pengenalan diri sejatinya. Kata-katanya acapkali menghijabi nasihat-nasihat yang datang pada dirinya.

Siapakah "aku" hingga pantas berkata-kata kepada Tuhan Yang Maha Kuasa? Ampunilah "aku" yang seringkali lancang kepada-Mu. Sedang sudah pasti Dia Maha Mengetahui, namun mengapa "aku" seringkali lancang mencoba menawae segala ketentuan yang telah Engkau tetapkan?

Mengapa "aku" sering memaksaMu untuk seolah-olah lekas memberi rahmat akan suatu hal yang itu tak lebih dari sekedar pemikiran subjektif "aku". Sedang Engkau menciptakan manusia untuk kebaikan mereka sendiri, bukan untuk mengambil keuntungan dari mereka.

Meskipun seolah-olah mampu berkomunikasi, tapi justru itu menjadi sebuah kewaspadaan, yang bisa jadi hal tersebut merupakan indikasi ketidaktahuan "aku" sendiri kepada Tuhan. Dan kemabukan seperti ini mungkin menjadikan "aku" seolah-olah telah banyak meraup kenikmatan dan kebahagiaan. Sama halnya seperti orang-orang yang menengguk minuman keras.

Padahal ketika kewaspadaan itu tidak lepas, rasa ketakutan akan semakin berlipat. Ketundukan dan kehati-hatian dalam melakukan atau ketika berbicara suatu hal akan meningkat. Kita seringkali pasrah setengah-setengah, penyerahan dirinya nanggung terhadap segala kehendak-Nya. Malah sebaliknya, kehendak Tuhan seringkali dipaksa sama terhadap kehendak diri. Astaghfirullah.

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah para ulama (orang yang tahu)." (35:28) Atau jangan-jangan selama ini aku sering dihadapkan dengan para wali? "Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati." (10:62)

Tentu saja semua memiliki persentuhannga masing-masing terhadap pandangan dan penilaian terhadap suatu hal. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati dan mendapat akses langsung kepadaNya, untuk berguru langsung kepada Tuhan. Tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang tertentu. Asalkan hal tersebut membuat diri menjadi lebih baik dan berendah diri atas segala hal yang diliputi oleh Kuasa-Nya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun