Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta atau Kehendak Diri?

18 Maret 2021   16:34 Diperbarui: 18 Maret 2021   16:41 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja setiap orang dan pencinta memiliki harapan, capaian, impian, dan berbagai macam sejenisnya yang dijadikan pendorong atau motivasi untuk mewujudkan segala sesuatunya tersebut. Akan tetapi, banyak orang tidak menyadari akan dirinya sendiri, utamanya terkait kapasitas dan kapabilitas diri. Karena tentu saja kedua hal tersebut menjadi modal utama sebagai kendaraan menuju segala tujuan yang hendak dituju.

Coba kuatkan daya imajinasi kita untuk mereka-reka segala contoh yang bisa kita interpetasikan ke dalam citra kehidupan sehari-hari dari terminologi contoh kapasitas/kapabilitas diri dengan kendaraan dan segala detail onderdil yang dibutuhkannya. Saya tidak akan bertele-tele dengan banyak menuliskan contoh agar masing-masing dari kita mengkreasi segala daya yang telah dititipkan agar lebih optimal dan maksimal. Toh, itu juga akan sedikit melatih kemandirian utamanya dalam rangkaian cara berpikir.

Kira-kira dari semua yang telah diangan-angankan, apa yang sering menjadi kendala utama sehingga segala harapan menjadi sirna ataupun tertunda. Kemungkinannya bisa sangat banyak. Dan dari banyak kemungkinan kita menjadi tidak belajar apbila bertemu dengan kalimat bijak, "mungkin bukan jalanmu", "mungkin Tuhan telah mempersiapkan rencana yang lebih bagus", "percayalah kalau Tuhan pasti akan memberikanmu yang terbaik".

Terus dalam hati kita sering menyangkal, "memang selama ini kalian anggap aku tidak percaya dengan Tuhan?" atau "apakah selama ini kalian anggap segala usaha yang telah kulakukan tidak dibarengi dengan sikap kepasrahan kepada Tuhan?". Jadi, jangan terlalu mudah mengeluarkan kalimat-kalimat bijak kepada orang-orang zaman sekarang karena kecerdasan dan kesadaran akan diri mereka bisa jadi lebih berkualitas daripada orang-orang yang memberikan nasihat kepada mereka.

Meskipun respon mereka beragam tergantung dengan suasana hati dan kedewasaan diri masing-masing. Terkadang, mereka secara spontan mengeluarkan kalimat-kalimat yang lebih bijak dengan bekal percepatan ilmu yang telah mereka dapati. Yang bahkan generasi yang lebih tua belum pasti memahaminya. Atau barangkali mereka memilih diam, karena mengetahui porsi dan cara menghadapi segala sesuatu yang sesungguhnya telah mereka ketahui, namun enggan menggurui karena telah banyak menghitung realita yang mungkin kurang bijaksana nantinya.

Sekarang coba kita persempit skala pandang, kira-kira dari segala harapan, capaian, dan impian, termasuk dalam kategori kebutuhan atau keinginan? Ketika kita coba petakan, masuk dalam sesuatu yang secara naluriah kita butuhkan ataukah ada kehendak diri yang seringkali kita sisipkan? Atau jangan-jangan kita jarang mengidentifikasi diri bahkan lupa untuk mengevaluasi diri (muhasabah). Tapi, saya percaya dan khusnudzon semua pasti memiliki kebiasaan (tidak hanya sudah/pernah) melakukannya.

Dari kebiasaan itu, seharusnya kita bisa melihat bahwa tidak hanya lapisan sosial saja yang berlapis-lapis, tidak hanya langit, bukan pula sekedar tanah. Akan tetapi, diri ini juga memiliki lapisan-lapisannya sendiri. Seberapa engkau mengetahui diri tergantung kepada seberapa besar niatmu dalam mengenali diri sendiri.

Kita mengetahui, orang berpenghasilan besar tidak akan terpuaskan dengan hanya menikmati semangkok bakso. Akan tetapi di sisi lain, semangkok bakso itu menjadi sesuatu yang jika mereka mendapatkannya, berlipat-lipatlah rasa syukur mereka. Lalu, dimanakah letak kesetaraan itu?

Kita seringkali terjebak akan materi yang dinikmati oleh masing-masing penikmat. Yang mana itu menjadi sebuah patokan secara wadag. Padahal secara kebatinan, mereka memiliki rasa kepuasan yang sama. Toh baik yang berpenghasilan besar ataupun kecil, apabila diawali dengan keberangkatan diri untuk menahan diri dari rasa lapar (berpuasa), apabila hanya tersaji dihadapan mereka tempe goreng dan teh hangat. Tingkat kepuasannya akan sama.

Maka dari itu, kita sering lalai karena terlalu tunduk kepada kehendak. Itu mungkin baik untuk memotivasi diri, namun bisa juga itu menjadi bumerang bagi diri sendiri. Sama halnya dengan cinta, kita seringkali mengaku menjadi seorang pencinta, namun jika ditelisik ternyata hanya sikap ketundukan terhadap kehendak akan cinta itu sendiri.

Karena seorang pencinta tidak akan merasa menderita, rendah hati, ataupun berlarut-larut dalam kesengsaraan terhadap jalan yang dilaluinya. Apakah kekasih menghendakimu demikian? Maka sangatlah nyata, bahwasanya keadaan seorang pencinta (dengan segala harap, ingin, dan mimpinya) dapat diketahui dengan melihat seberapa kekasih (tujuan dari segala tujuan) menginginkan dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun