Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepakat Mengingkari Kebutuhan

23 November 2020   16:25 Diperbarui: 23 November 2020   16:43 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: unsplash/romain-v

Kita selalu berada di pilihan antara ingin atau butuh. Dan itu sepertinya dialami oleh semua orang setiap hari. Tapi di antara pilihan itu, kita sendiri ternyata justru lebih disibukkan oleh pandangan yang mengarahkan diri untuk banyak menghabiskan dengan menilai. Apapun. Apalagi kita sudah hanyut dalam suasana duduk nongki bersama. Tema mana yang lebih mengasyikkan, membahas sesuatu di luar lingkaran atau sesuatu ke dalam lingkaran?

Tentu saja, sesuatu yang berada di luar akan lebih menarik, terutama terkait sebuah kasus yang menurutnya kurang tepat (menurut penilaiannya). Atas penilaian tersebut, keluarlah argumen-argumen subjektif yang didapat atas ilmu atau pengalaman yang telah dimiliki. Lantas, anggap saja di dalam lingkaran kita menyepakati sebuah argumen. Lantas apa tindakan selanjutnya?

Benar, jika dalam suatu obrolan yang melibatkan lebih dari satu orang itu sudah memiliki bobot kebaikan dan merupakan sebuah proses ijtihad. Tapi apakah keputusan yang telah disepakati berdasarkan musyawarah atau mufakat benar-benar atas dasar karena sependapat atau setuju dengan argumen yang disepakati?

Sepakat sendiri bermula karena ada opsi-opsi yang muncul ke permukaan. Opsi yang berupa ide atau gagasan hasil pemikiran ini ibarat pakaian yang dikenakan oleh seseorang. 

Lantas apa jadinya jika kita dipaksa untuk memakai pakaian yang bukan merupakan gaya berpakaian kita? Tidak nyamankah? Menurunkan kepercayaan diri? Atau bahkan kalau kita mengikuti kesepakatan agar kita memberikan kelegaan dan membangun situasi yang kondusif, sampai kapan kau akan bertahan?

Manusia merasa nyaman tinggal di lingkungannya karena diakui eksistensinya, baik itu pemikirannya, kebiasaannya, sifatnya, bahkan kebebasan cara berpakaiannya. Jika semua itu diatur sedemikian rupa sehingga orang-orang tidak merasa bebas dan seolah menjadi kehilangan dirinya, orang tersebut pasti akan mencari lingkungan yang lebih menerimanya. Itulah kenapa orang pada akhirnya lebih banyak mengutamakan keinginannya daripada kebutuhannya.

Manusia lebih suka mengakui kebenarannya, dibandingkan dengan pengakuan kesesatannya. Manusia lebih suka mencari pembenaran diri di depan kerumunan, daripada merintih lirih di kesunyian lantas menyenandungkan pengakuan akan kesalahan-kesalahannya. 

Sekalipun yang tercitra dari manusia selalu saja lebih mengutamakan keinginan, tapi bukankah tidak mungkin manusia menomorduakan kebutuhan karena pemberi utama kebutuhan itu sendiri tidak ada sesuatu apapun kecuali hanya Tuhan? Sehingga setiap orang tidak akan lepas dari kebutuhannya, sekalipun ia mengingkarinya. Dan perlu kita pahami dan renungi bahwa kebutuhan lebih dekat daripada subjek apapun yang kita kasihi.

Tapi kelemahan kita pada umumnya adalah mudah berspekulasi dan memberikan nilai baik buruk, benar salah, kepada sesuatu hal. Apa yang menjadi kebutuhan manusia pun pada umumnya sama, hanya kemasan-kemasan yang tercipta atas dasar ketidaksepakatan identitas yang akhirnya banyak membentuk sekat-sekat yang dibangun sangat megah dan indah karena ilmu-ilmu yang telah banyak dimiliki sehingga sekat yang tercipta nampak sangat transparan (tidak nampak), namun kuat karena benar-benar sangat mampu menghalangi orang-orang untuk dapat keluar masuk sesukanya.

Ya, semua itu merupakan hal absurd yang lagi-lagi memerlukan upaya lebih untuk lebih banyak dan niteni kebiasaan diri. Sebenar-benar apapun diri, sebaiknya kita tak pernah berhenti atau bosan menghitung segala tindakan ataupun niat. Apakah kebaikan yang kita dapati sekarang sudah pasti tetap berlaku di masa yang akan datang?

Pada akhirnya, seberapa jauh manusia akan banyak menuntut kepada keinginan, kebutuhan akan terus membersamai dan tak pernah bisa terpisahkan. Hanya saja, cara pandang kita yang masih berbatas selalu saja terjebak dalam fakta. Bahkan kebenaran yang seringkali diadu sebenarnya merupakan sebuah fakta yang diimani oleh seseorang. Dan fakta itu sendiri ibarat tafsir-tafsir apabila sudah terucap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun