Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinau Nandur atau Sinau Lelakune Wong Nandur?

12 Mei 2020   17:11 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:04 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
picture by Bara Purnama

Sangat menarik sekali ketika banyak melihat manusia mulai kembali belajar bercocok tanam ataupun kegiatan budidaya ternak sebagai suatu langkah antisipasi datangnya musim packelik. Dahulu kala, sebelum berburu dan hidup secara nomaden, pada mulanya manusia belajar menanam untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Ini sungguh sebuah innovasi yang sangat hebat sekali pada waktu itu, siapakah kira-kira yang memberikan inisiasi kepada manusia untuk "nanduro"?

Di awal mula peradaban menanam, apakah populasi manusia memiliki kepadatan yang sama dengan sekarang? Ataukah pada zaman itu, terdapat sebuah wabah juga yang membuat manusia mesti di rumah saja? apakah sumber-sumber bahan makanan pada zaman itu juga mengalami persempitan lahan menanam atau serangan hama? Atau mungkin pula pada masa itu sudah crowded sehingga butuh jaga jarak demi kebaikan bersama?

Tentu saja keberangkatan nilai dalam bercocok tanam sangatlah berbeda. Menandur dalam keadaan aman lebih didasari oleh ketulusan ataupun hobi, sedangkan menandur dalam keadaan terhimpit biasanya dilakukan dengan keterpaksaan. Bukan berarti keterpaksaan itu buruk, melainkan untuk memberikan pelajaran kepada manusia yang ndableg, biasanya salah satu cara agar dia mendengar adalah membuat keadaannya terpojok seperti itu, sehingga mau atau tidak mau, ia akan tetap melakukannya.

Kita tidak ada regulasi yang mengikat, atau regulasi semacam titah secara langsung dari Tuhan yang diwedarkan kepada manusia melalui keadaan sehari-hari yang mengharuskan manusia untuk melakukan inisiasi dan kreasi dalam mempertahankan kehidupannya. Beruntung, manusia memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat baik.

Pada zaman bercocok tanam, tidak ada perbedaan seperti apa yang terjadi seperti sekarang ini. Saling berbagi dan saling mengamankan menjadi tanggung jawab bersama. Pada zaman dimana rumah tinggal mereka tak bersekat dan tak berjendela ini, tidak ada perbedaan kaya miskin, raja atau rakyat, pintar atau tidak, semua memiliki sajian porsi dan menu yang sama dalam urusan pangan.

Tapi, lihatlah keadaan sekarang? Sekat maupun kasta sosial begitu jelas perbedaannya. Si kaya yang ingin membantu sering tidak tepat sasaran, karena terlalu banyak dicuwan oleh para makelar setempat. Yang merasa tertindih atas keadaan harus segera mencari kambing hitam atas keadaan hidupnya, disaat seharusnya melihat, mengukur, dan menimbang diri sendiri seharusnya lebih utama dilakukan. Masalah tidak akan selesai jika kita terlalu sibuk dengan apa yang berada di luar diri kita, sedang apa yang ada di dalam diri kita jarang untuk dirumat.

Atau terkadang jika Si Pemberi akan bagi-bagi rezeki dan disaat yang sama ada yang mendokumentasikan, sangkaan pencitraan atau cari muka sering tersemat kepada mereka. Entah itu karena dilandasi rasa ketidaksukaan, kebencian, dendam, atau dirinya merasa tidak mendapat bagian, dsb. Alasan-alasan seperti itu pun hanya sebuah sangkaan. Tidak bisakah suatu niat baik kita balas pula dengan prasangka baik kepada siapapun? Setidaknya kita belajar nandur kabecikan/kebaikan, daripada nandur kebencian.

Skala dan jarak pandang sering menjadi sebuah kendala yang mempengaruhi keluasan hati seseorang. Menanam bukan hanya masalah bercocok tanam dengan objek utama tumbuh-tumbuhan. Begitu pun hubungannya dengan makanan, dimana sesuatu yang perlu makan tidak hanya fisik, akan tetapi batin juga memerlukannya.

Oleh karena itu, belajar menanam itu sangat baik demi kemandirian ataupun ketahanan pangan dengan keadaan pandemi seperti ini. Dengan harapan, seusai keadaan pandemi pun, kebiasaan menanam ini nantinya akan terus berjalan. Agar nantinya kita mengetahui kebiasaan orang menanam, sinau lelakune wong nandur atau belajar kebiasaannya orang menanam. Kehidupan masyarakat kota selama ini sangat kontras dengan kehidupan para petani yang kegiatan sehari-harinya adalah menanam.

Pertanyaan yang muncul adalah, sudah siapkah kita? Atau keadaan yang akan memaksa kita mesti siap untuk bercocok tanam? Ketulusan akan  niat akan belajar dan penyaluran hobi akan sangat mempengarui keberlangsungan kegiatan ini. Akan tetapi, apabila kegiatan menanam ini hanya spekulasi yang timbul akibat ketakutan yang dialami sehingga dirinya merasa diancam oleh kelaparan, continuitas kegiatan menanam mungkin hanya bertahan sampai keadaan kembali normal lagi bagi dirinya.

Menanam adalah kegiatan memproyeksikan sesuatu ke masa depan. Sedangkan kita tidak memiliki sebuah kepastian akan apa yang pasti akan terjadi di masa depan. Kita sering mendengar ungkapan buah yang dihasilkan nanti pasti akan mengikuti niat saat kita menanamnya. Jadi, asalkan keberangkatan nilai menanamnya adalah kebaikan, sebuah proyeksi akan masa depan insyaAllah akan menjadi nikmat yang baik pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun