Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menahan Diri Demi Sebuah Massa

2 April 2020   16:06 Diperbarui: 2 April 2020   16:01 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Corona coronel wae! Malah mung tambah nyusahke..." begitu kata ibu-ibu sembari menggoreng tempe dan tahu yang saya pesan.

Saat itu malam hari dengan hujan gerimis yang turun cukup lama. Ketika saya datang pun, ibu itu terlihat kesepian menanti para pembeli yang tak kunjung datang. 

Gorengan yang tinggal beberapa biji di nampannya hanya sekedar penegasan kalau dirinya sedang berjualan. Karena, apa yang saya pesan saat itu langsung dilayani oleh ibunya. "Sekedhap nggih mas, kulo gorengke ben anget.."

Tak lama kemudian, handphone ini berdering menunjukkan jika ada panggilan video masuk, dan ternyata ada beberapa orang. "Kamu dimana e? kok malah diluar?" tanya salah satu teman. 

Saya tunjukkanlah kepada teman-teman ibu yang sedang berkonsentrasi dengan sotil dan wajannya. "Ada acara apa to kamu? Hati-hati lho, agak dikurangi keluar-keluarnya." Singkat nasihat dari teman-teman.

Saya sendiri seakan mendapat 2 nikmat dari 2 jalan pemikiran yang berbeda. Yang berada di luar rumah dengan kerendah-hatiaannya memberikan perhatian kepada saya, bahkan melayani pembeli "pemuda tidak sopan" seperti saya dengan  sabar. Sedangkan, teman-teman yang tetap tinggal di dalam rumah tak lupa memberikan perhatiannya meski dengan jarak yang tidak bisa dibilang dekat.

Sama sekali tidak ada kesalahan bagi mereka yang mengambil keputusan yang berbeda asal tidak ragu dengan pilihannya. Ibu-ibu itu tidak ragu dengan pilihannya dan tidak ada takabbur sama sekali karena ia sedang tulus melakukan kegiatannya sehari-hari demi penghidupan, begitupun dengan teman-teman yang sedang membantu pemerintah untuk berpartisipasi dalam memutus mata rantai wabah pandemi ini.

Pengambilan keputusan yang berbeda menjadi menarik ketika dianalisis lebih ke dalam. Perbedaan tuntutan hidup, perbedaan beban atau tanggung jawab, dan faktor ada atau tidaknya support dari lingkungannya menjadikan perbedaan itu selalu ada. Belum lagi jika dikaitkan dengan ambisi yang terkadang membutakan hati dan jiwa agar ambisinya terwujud.

"Enak, kalau pegawai pemerintah disuruh pemerintah dirumah tapi tetep dikasih gaji." Kata Ibu tersebut. Yang menjadi menarik dari keluhan ibu tersebut adalah, apa yang dilakukannya sekarang dengan tetap berjualan di malam hari merupakan suatu bentuk ketegasan sikap kemandirian. Dan tidak banyak berharap, menuntut, ataupun menyalahkan seperti yang sedang marak bersliweran di media sosial.

Ibu itu mungkin bingung juga mau menagih pertolongan kepada siapa, atau menodong jaminan penghidupan kepada apa. Ibu yang tetap berjualan itu seolah memperlihatkan, jangan banyak berharap kepada manusia jika hanya kekecewaan yang didapatkan. Terlebih berharap sesuatu yang berada di luar wilayah kita. Saru.

Hal utama yang menjadi peringatan bagi ulama dalam sebuah kitab adalah jangan mendekatkan diri kepada umara/raja-raja atau para penguasa. Yang disebut ulama sering ditegaskan oleh Simbah bahwa ia bukan orang yang bersurban, atau orang yang banyak memberikan fatwa, melainkan adalah mereka yang takut kepada Allah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun