Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Awas, Ada Kebakaran!

16 September 2019   16:13 Diperbarui: 16 September 2019   16:21 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com by Silentpilot

Kebakaran dan kabut asap yang sedang melanda beberapa daerah di bumi ini menjadi fenomena alam yang sangat banyak menarik perhatian. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Kita tentu masih ingat kebakaran yang terjadi di hutan Amazon, Brazil. Yang begitu menggemparkan dunia karena hutan tersebut merupakan hutan hujan tropis terbesar di sunia. Dengan kata lain, merupakan hutan produsen terbesar penghasil oksigen di seantero bumi.

Sekarang, mari kita mencoba untuk mempersimpit pandangan ke dalam negeri. Kebakaran di beberapa gunung atau yang paling viral tentu yang terjadi di hutan Kalimantan. Beberapa muncul di headline media dengan segala analisisi serta dampak aktualnya. Tentu sesuai dengan bidang keilmuan yang telah dipelajari. Saya hanya akan mencoba melihat fenomena alam ini dengan menggunakan kacamata pandang yang lain.

"Ngeri yaa, sekarang banyak kebakaran dimana-mana. Pemerintah yang ada di Kalimantan dengan mudahnya melegalkan penebangan hutan. Padahal tumbuhan itu kan juga makhluk hidup. Lihat dampaknya, banyak beribu-ribu orang meski menghela nafas yang telah terkontaminasi oleh udara yang tercemar."

"Tidak mesti begitu juga. Pemerintah tetap telah berupaya untuk mengantisipasi segala bencana sesuai dengan amdal-nya."

"Tetapi kenapa kebakaran hutan itu selalu menjadi masalah tahunan?"

"Kita tak bisa begitu saja menyalahkan, terlebih kalau kita hanya bisa berkomentar. Mungkin ada faktor-faktor lain yang menyebabkannya."

"Apa contohnya?"

"Kelalaian beberapa pihak. Bisa saja itu karena kesengajaan salah seorang warga yang secara sengaja membakar lahan gambut. Atau bisa saja beberapa oknum pegawai memberikan ijin tidak begitu memperhatikan amdal-nya, melainkan hanya untuk keuntungan pribadinya. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan pemerintah. Karena pemerintah dibentuk pun sudah pasti tidak dengan tujuan untuk mendatangkan bencana. Melainkan mengakomodir atau melayani masyarakat."

"Sekarang kamu maunya gimana? Ketika kebakaran sudah terlanjur membara, atau kabut asap yang sudah terlanjur meluas?" lanjutnya.

Kita bukan pemerintah, bukan pula orang yang turut andil secara langsung di lapangan kejadian. Tetapi, sebagai imbas dari sebuah informasi. Terlepas dari baik atau buruknya sebuah informasi. Kita hanya tidak sadar sering melatih diri untuk berkomentar tanpa memperhatikan terlebih dulu kapasitas diri sendiri.

Peran media sangatlah sentral di dalam zaman serba instan seperti sekarang ini. Namun, bukannya menambah kebijaksanaan, justru hanya menambah daya seseorang untuk dengan mudahnya mengomentari segala sesuatu tanpa pernah berfikir luas terlebih dahulu. 

Orang seperti risih terhadap kesalahan, banyak pengecut karena dengan mudahnya lari dari sebuah tanggung jawab, hingga hilangnya norma serta sopan santun karena menganggap dirinya lebih mengetahui.

Hal ini tidak hanya sebatas kebakaran, namun seperti membakar di segala bidang. Bisa dalam bidang olahraga, politik, hukum, bahkan agama. Kita juga tak langsung begitu saja menyalahkan media. Karena mereka pun menyajikan berbagai macam topik kabar/berita tentu dengan mempertimbangkan segala sesuatunya agar media kabar tersebut dapat bertahan hidup. Untuk menghidupi para pekerja dengan segala keinginannya, impiannya dan tentu saja keluarganya.

Sebuah kabar akan begitu diminati ketika judul berita lebih berbau perselisihan ataupun konflik, daripada yang berbau menambah persatuan atau alih-alih mengenal diri. Itu sudah pasti. Karena segala sesuatu yang menyulut api perdebatan-perdebatan pasti saling membawa kebenaran versinya masing-masing. 

Saling bertaruh solusi kebaikan. Toh, bukankah hal tersebut memang wajar? Karena memang sudah seharusnya kita saling bertarung untuk saling berebut kebenaran, kekuasaan, kehormatan. Dan segala kata-kata itu layaknya sebuah pertarungan ideologi tanpa harus menumpahkan setetes darah sekalipun.

"Begitupun yang di gunung. Menurut cerita salah seorang kerabat yang sudah lama tinggal di lereng gunung. Terkadang memang kebiasaan Mbah-Mbah mereka membersihkan ilalang dengan cara membakar. Toh, tanah kembali subur. Kayu yang terbakar bisa dijadikan arang untuk memasak nasi dirumah. Hanya saja, orang yang tidak biasa tinggal di gunung pun sering memandang hal tersebut secara sekilas dari sekotak layar."

"Berarti, saya sendiri masih sering keblabasan ya, Mbah. Suka berkomentar negatif tanpa berfikir terlebih dahulu."

"Tidak apa-apa, semua bebas membuang curhatannya kok, Nak! Asal memahami empan dan papan. Kalau tidak, apa bedanya dengan kebiasaan ibu-ibu yang suka ghibah orang lain. Disaat para bapak-bapak ghibahnya justru lebih luas. Tidak hanya individu/munfarid, namun komunitas/berjamaah."

"Sebenarnya saya sudah melakukan perbaikan terhadap keadaan, walaupun semampu saya."

"Sebentar... sebentar... . Saya tadi tidak ada menyuruh perintah untuk tidak membuat kerusakan di bumi, tho?"

Sesungguhnya bukan hutan ilalang itu yang terbakar, melainkan kita membakar diri sendiri. Seperti sudah menjadi hobi bahkan budaya baru bagi generasi intelektual. Semua memiliki kebenarannya masing-masing, imannya masing-masing. Permasalahannya bukan pada apa yang mereka bawa benar atau salah. Tapi diri kita sendiri yang terjebak dalam benar dan salah itu sendiri.

Layaknya sebuah iman, kita pasti mengaku orang yang beriman. Alaa innahum humul-mufsiduuna waakin laa yasy'uruun. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari. Bukan anti kritik atau apapun, semua bebas untuk menyampaikan aspirasinya. Lagian, disini negara yang menjunjung tinggi hak bagi yang masih merasa memilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun