Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Memiliki Limitasi Rasa di Saat Ada Sesuatu 'Yang Maha'

9 Juli 2019   16:29 Diperbarui: 9 Juli 2019   16:43 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ahealthierupstate.org

Konsep surga dan neraka menjadi sebuah paradigma sendiri bagi mereka yang mendambakan kenikmatan, atau takut terhadap hukuman. Mereka tidak sanggup lepas akan bayang-bayang yang menjadikan mereka lebih takut kepada konsep itu daripada kasih sayangNya.

"Aku takut jika malaikat Izrail mendatangiku dengan tidak membawa kasih sayang, ridho, dan rahmat-Mu"

Sepenggal syair ini sedikitnya memberikan gambaran betapa ketakutan itu bukan masalah surga atau neraka. Meski, kita tidak bisa terlepas begitu saja dari berpenggal-penggal ayat yang menyatakan bahwa "mereka kekal di dalamnya (neraka)". Namun, apakah Tuhan Yang Maha Penyayang menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Apalagi ciptaan itu bernama manusia.

Atas dasar apa manusia pada akhirnya dihukum? Karena perbuatan salahnya ketika diberi kesempatan di dunia. Apakah perbuatan salahnya itu akan terjadi tanpa ijin-Nya disaat tetes embun yang terjatuh dari dedaunan ke tanah pun pasti atas ijin-Nya. Lain halnya dengan ijin, bahwa sesuatu yang kita lakukan sering kita sangka menjadi salah satu akibat dari usaha kita, padahal Tuhan jua-lah yang menggerakannya.

Meskipun ada ayat pula yang tafsirnya menjelaskan jika Tuhan hanya ikut campur di dalam urusan yang baik saja. Lantas siapa yang bertanggung jawab kesalahan? Apakah kita belum cukup puas memprasangkai setan atau iblis sebagai kambing hitam atas segala kesalahan kita? Mungkin saja konsep neraka itu hanya untuk mempertegas jika di dunia ini butuh konsep benar dan salah.

Untuk apa? Keseimbangan. Segala proses pendewasaan cara berpikir yang terbentuk tidak terlepas dari salah satu jalan dimana ia banyak mengalami benar dan salah yang sangat dinamis di dunia ini. Tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada pula yang benar-benar salah.

Jangankan Tuhan Yang Maha Tidak Tega. Aku misalnya, jika kebetulan memasuki surga sendirian tapi melihat sanak saudaraku merintih dalam neraka. Apa lantas aku bakal diam saja? Apakah aku bisa bahagia begitu saja ketika memasuki pintu surga tersebut di atas ringkikan pertolongan saudara-saudaraku?

Bahkan seorang Rabiah Al-Adawiyah sampai menuntut kepada Tuhan. Kurang lebih ia menyatakan bahwa ia meminta tubuhnya dibesarkan agar tidak ada yang bisa masuk lagi ke neraka kecuali dirinya. Lalu bagaimana dengan Rasulullah yang begitu mulia akhlaknya? Apakah juga tega melihat umatnya disiksa di delam neraka? Meskipun neraka itu tidak bisa lepas dari sesuatu yang telah ditakdirkan kekal di dalamnya.

Ada yang menyatakan jika semua manusia pada akhirnya tetap berkumpul di surga. Jika melihat sifat Maha Penyayang, hal ini sangat mungkin. Kalaupun mesti memang ada yang lewat jalur neraka terlebih dahulu untuk mensucikannya. Tapi bukankah konsep 'salah benar' itu sendiri adalah sesuatu yang pada akhirnya memuliakan kita. Setiap ujian yang mesti dihadapi. Dengan begitu kompleksnya permasalahan di dunia ini. Bayangkan saja jika kita tahu kalau suatu saat nanti kita akan memiliki peran sebagai tokoh antagonis salam suatu lingkungan dan kita tidak bisa menghindari hal tersebut. Hal itu tidak akan pernah menjadi sebuah pelajaran, baik bagi diri sendiri ataupun lewat kesalahan itu akan banyak terkandung hikmat.

Bukankah pada akhirnya kesalahan lebih banyak mengandung hikmat daripada kebenaran? Lebih besar mana antara kesalahan dan kebenaran di dunia ini? Pada akhirnya kita hanya bisa berprasangka terhadap semuanya, termasuk surga dan neraka itu. Segalanya akan aku lakukan asal engkau tidak marah kepadaku! In lam takun 'alayya ghodlobun fala ubali.

Dan mungkin hanya mereka yang suka memutus tali silaturahmi yang pada akhirnya tidak ada yang merasa kasihan atau iba terhadapnya merintih. Atau bahkan, diingatnya pun tidak. Tapi sekali lagi, manusia memiliki limitasi rasa disaat ada sesuatu 'Yang Maha'.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun