Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lalu, Siapa Cahaya Itu?

21 Juni 2019   16:25 Diperbarui: 21 Juni 2019   16:26 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika cuacanya cerah seperti ini mengingatkan sedikit cerita kala itu saya mendaki tanah yang begitu menjulang tinggi. Mencoba sedikit kujamah tanah yang bermesraan dengan langit. Yang membawa kekerdilan dan keterbatasan raga ini untuk sedikit saja membelai langit. Sejenak saya merasa ge-er menjadi manusia langit yang wagu, karena masih merasa kedinginan. Sedikit pengalaman ini yang membuat saya mengidentifikasi sedikit prasangka tentang cahaya, selama saya mencoba mendekati sumber cahaya.

Kebanyakan mendefinisikan  cahaya adalah sinar matahari, yang memberikan banyak kehidupan di muka bumi ini. Segalanya hidup sangat tergantung pada sumber cahaya ini. Yang memberikan terang dan kehangatan pada seluruh kehidupan. Hal ini merupakan gambaran umum yang juga bisa diartikan sebagai lapisan terluar tentang cahaya itu sendiri.

                Ketika kita mengamati lebih dalam ternyata cahaya juga memberikan penglihatan, bukan karena mata kita yang bisa melihat. Akan tetapi, karena adanya cahaya itulah mata kita dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Contoh paling nyata untuk membuktikan hal tersebut adalah apabila listrik padam pada malam hari, ketika kita di dalam rumah kita tidak dapat melihat apa-apa sebelum kita menyalakan sumber penerangan yang lain.

Bukan hanya kehidupan, akan tetapi cahaya membuat kita dapat mengenal segalanya. Dapat melihat gunung, air, awan, binatang, sehingga kita dapat mengenali berbagai macam ciptaanNya. Sehingga kita bisa mengenal segala materi, mengidentifikasinya, mengenali sifatnya, dan mengambil berbagai manfaat atas dasar cahaya. Selama ini kita pasti mengira kalau penglihatan kita ini memang seperti adanya karena kita manusia, padahal walaupun kita normal kalau tidak adanya cahaya apalah artinya penglihatan kita.

Manusia hanya makhluk lemah jika tidak diberi bekal suatu chips yang sangat canggih, yang sering disebut akal. Ini yang membedakan kita dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Selain akal, kita juga dibekali nafsu sama seperti naluri binatang pada umumnya. Jadi yang membedakan kita dengan binatang hanyalah akal. Meski terkadang para binatang lebih terlihat manusiawi daripada manusia itu sendiri.

Itulah mengapa kita perlu merefleksikan diri kita sebagai rembulan dengan bantuan akal. Untuk mencapai tujuan kita ditugaskan di dunia ini yang hanya sebentar. Agar kita juga dapat memberi penghidupan ke ciptaan Tuhan yang lain. Ini bukan masalah surga atau neraka, bukan masalah benar atau salah.

Kita bukanlah cermin yang pada dapat memantulkan cahaya pada umumnya. Yang dimaksud cahaya disini mungkin bisa disebut sebagai hakikat cahaya. Dan untuk dapat memantulkan hakikat cahaya itu pun kita juga perlu menemukan jati diri kita yang sebenarnya. Siapa kita sebenarnya?

Hakikat cahaya disini merupakan cahaya yang selalu terang walau dalam kegelapan, walau dalam kesunyian. Cahaya yang tidak dapat terhalang oleh apapun karena cahaya ini selalu terpancar langsung ke setiap insan. Setiap manusia memiliki sinyal khusus untuk dapat menangkap cahaya tersebut, hanya saja keadaan dari kita sendiri yang terkadang menghalangi cahaya tersebut masuk ke dalam sitem tubuh kita.

Diri kita terhalangi bukan oleh bangunan-bangunan tinggi, akan tetapi oleh sifat-sifat keduniawian kita yang merusak sinyal tersebut. Bahkan menjadi virus yang menjangkiti software setiap manusia. Karena mereka terlalu memikirkan untung dan rugi dalam kehidupan ini. Mereka mengabaikan cahaya, dan menganggap dirinya jaya tanpa kasih sayang sebuah cahaya,

Cahaya yang selalu memberi senyuman ketika kegualauan melanda. Cahaya yang selalu memberi kehangatan ketika semua kehidupan terasa dingin dan keji. Cahaya yang selalu memberi secerca harapan disaat semua jalan terasa buntu. Cahaya yang selalu memberi tuntunan disaat diri kita tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun