Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esai | Ruang Rindu

12 April 2019   19:50 Diperbarui: 12 April 2019   20:44 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa bersalah itu selalu menyapa ketika jari-jemari enggan untuk menari di atas kata. Menjadi juru bicara sang Akal ketika bibir enggan tuk mengucap. Tertahan semua idealisme di ubun-ubun. Tinggal hitungan detik ia akan meledak.

Tiap detik waktu berlalu. Di setiap detik itu pula kita mengalami perubahan. 1 detik yang lalu yang pasti sudah menjadi masa lalu. Dimana kita selalu mengira kita sama. Apakah ada di setiap detik segalanya tidak berubah? Tidak akan pernah kita terhenti berpetualang menyusuri ilmu dalam setiap jengkal waktu.

Kita hanya merasa tergerak atas dasar keinginan atau kebutuhan. Di mana segala rasa menopang hasrat dan lelah dalam perjuangan memenuhi kedua hal tersebut. Tak jarang mereka sering menerka "dunia ini kejam" karena upaya mereka tak membuahkan hasil apa-apa. Hasil apa sih yang dapat kalian sombongkan di dunia ini? Kalau semua itu akhirnya akan hilang. Bukan hanya karena tertelan waktu, akan tetapi ruang pun enggan untuk menerimanya.

Tuhan seakan menjadi tameng atas segala kemunafikan. Agama pun diperjualbelikan sesuai dengan pesanan. Demi sebuah hasil kekuasaan yang sungguh memuakkan. Penindasan dilakukan sebagai tabir dari sebuah pembangunan, katanya. Sungguh manusia.

Segala kekalutan ini menjadi indah. Bagaimana Tuhan bisa merumuskan kegaduhan dan kekalutan ini. Semua merasa benar, semua merasa membela orang kecil disaat hati mereka ingin berada di puncak kekuasaan, disaat mereka masih haus akan penghormatan terhadap pencapaian dirinya. Disaat ia tersenyum sinis mendengar kemeriahan tepuk tangan para korban pencitraan. Dimana di setiap lubang kecil itu selalu terselip rasa sayang dari Sang Maha. Tak peduli siapa ia.

Hati-hati dalam rasa memiliki karena hal itu adalah semu. Apapun yang kita rasa miliki pada akhirnya akan hilang. Menjadi makanan dunia sehari-hari. Tangis dan pilu menjadi pertanda akan datangnya sebuah kehilangan. Tidak ada yang tidak hilang, tak terkecuali cinta. Perlu waktu dan upaya merasakan sakit bertubi-tubi hingga ia memasuki ruang rindu. Dimana itu menjadi muara akan kesejatian cinta. Walaupun mati akan  segera datang,

Ruang rindu yang menjadi akar dari sebuah cinta. Tanpa pernah menatap, tanpa sebuah perjumpaan. Hanya sapaan dan rindu itu sendiri yang selalu menemaninya. Hilang segala akal akan sebuah perwujudan selain Dia Yang Haqq. Hilang sudah segala rasa takut dan kesedihan yang selalu datang ketika ia merasakan kehilangan. Karena ruang itu menawarkan keabadian yang takkan pernah hilang.

Ruang yang selalu tersembunyi di setiap bilik nafsu manusia layaknya tempat ibadah mungil yang terselip di antara labirin-labirin kemegahan bangunan. Ruang yang selalu tertimbun oleh material-material. Keindahan itu telah tertutupi oleh zaman sehingga mereka telah lupa akan hakikatnya sebagai manusia.

Kehilangan bukanlah sebuah ketiadaan, melainkan merupakan jalan untuk menemukan ruang. Ruang yang telah hilang atau tersembunyi selama ini. Dimana ruang itu akan selalu menawarkan rindu yang tak pernah mereka terka sebelumnya. Rindu tanpa kata, sapa, ataupun tatap. Sebuah ruang yang takkan terpisah walau ajal menyekap.

Dalam ruang ini, kehilangan sudah bukan menjadi sesuatu yang mesti dihindari. Kehilangan sudah menjadi kebutuhan selama mereka masih berada dalam dunia fana. Karena di dunia , mereka hanya akan kehilangan bentuk, bukan cinta. Kehilangan akan semakin mendekatkan mereka kepada kasih sayang. Oleh cinta dan sayang maka terciptalah ribuan bentuk di dunia ini. Jadi, kehilangan bentuk demi bentuk sejati bukanlah sebuah masalah.

Rindu semakin mengakar, cinta semakin berkelakar. Yang tak pernah dengarkan nalar, karena untung sudah tak layak untuk dikejar. Sedang ia tak tuntut apapun, tanpa skala hitungan manapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun