Mohon tunggu...
Tateng Gunadi
Tateng Gunadi Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pecinta buku, suka menulis, dan senang fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Konteks Tinggi dalam Globalisasi Teknologi Informasi

16 April 2021   15:06 Diperbarui: 8 September 2021   11:38 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Sasin Tipchai from Pixabay

     Akan tetapi, kenyataanya tidak selalu demikian.

     Arus deras globalisasi teknologi dan informasi telah mengubah budaya lama kemudian menggantikannya dengan budaya baru. Semisal membaca koran kertas (manual) sudah jarang dilakukan orang, sedangkan membaca online (digital) menjadi kebiasaan baru.

     Kehadiran jaringan internet, telepon genggam, aplikasi media sosial seperti youtube, dan dunia maya, ibarat sihir yang dengan serta merta mengubah budaya keseharian kita menjadi sama sekali berbeda. Rasanya mustahil tidak terpikat pada pesona media yang menggoda kita untuk hadir secara sosial, pemegang kendali, terlibat secara interaktif, memiliki privasi, dan kesenangan bermain itu.  Menjadi pemandangan sehari-hari anak kecil memainkan game di gadget, orang dewasa banyak meluangkan waktu untuk bermedia sosial, keluarga berkumpul di rumah tetapi tidak terjalin interaksi sosial karena masing-masing asyik dengan handphone, dan sebagainya. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa ada tradisi-tradisi yang ditinggalkan ketika datang era digital. Pun sekaligus memberikan gambaran bahwa globalisasi begitu banyak pengaruhnya pada berbagai aspek kehidupan.

     Pengaruh globalisasi teknologi informasi dan komunikasi ini, juga semarak media dan aplikasi media sosial, tidak terkecuali telah memengaruhi orang yang terbiasa berkomunikasi diplomasi dengan konteks budaya tinggi tiba-tiba berubah menjadi berbudaya konteks rendah.

     Di masa lalu, budaya konteks rendah hadir melalui obrolan ibu-ibu di pekarangan rumah tentang anak-anak mereka, sambil saling mencari kutu di kulit kepala. Juga percakapan dan canda bapak-bapak di pos ronda sembari main kartu gaple. Di masa sekarang, selain percakapan masyarakat biasa di dunia nyata, di dunia maya budaya konteks rendah hadir sebagai podcast dan percakapan di aplikasi media sosial seperti whatsapp, facebook, dan youtube. Barangkali sering mampir di whatsapp kita vlog ibu-ibu yang menceritakan betapa banyak pekerjaan yang dilakukannya di rumah (dengan nada jengkel dan bicara bersicepat dengan logat Sunda) tetapi merasa tidak begitu dihargai oleh suaminya atas semua upayanya itu. Yang terakhir ini menandai budaya konteks rendah; kata-kata lugas, eksplisit, terus terang, dan jenaka sebagai tontonan yang menghibur.

     Berikut contoh diplomasi yang seharusnya berbudaya konteks tinggi tergelincir menjadi berbudaya konteks rendah.

     Sebagaimana pernah dilansir kompas.com, mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sejak awal pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, pernyataannya kerap kontroversial. Misalnya mengenai (1) orang Indonesia tidak akan tertular, (2) belum ada virus corona seharusnya bersyukur bukan dipertanyakan, (3) harga masker tinggi, Terawan justeru menyalahkan orang yang membeli masker, "Salahmu sendiri kok beli, ya." (4) penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya, "Padahal kita punya flu yang biasa terjadi pada kita, batuk pilek itu angka kematiannya lebih tinggi dari yang ini corona tapi kenapa ini bisa hebohnya luar biasa." 

     Pernyataan mantan menteri kesehatan ini dilihat dari ciri budaya konteks tinggi, karena beliau seorang pejabat publik, secara teks dan konteks tidak memenuhi syarat. Komunikasi diplomasi yang dilakukannya seluruhnya menunjukkan budaya konteks rendah. Bersifat eksplisit, langsung, terus terang. Seperti obrolan biasa dengan diksi bahasa "gaul". Bukan kalimat-kalimat dari susun kata yang bermakna tinggi dan implisit. Ia hanya mengatakan apa yang dimaksudkan, seutuh-utuhnya. Seperti percakapan antarindividu dari kalangan masyarakat biasa.

     Saling pengaruh antarbudaya, sebagaimana juga dalam bahasa yang dikenal sebagai interferensi, sangat mungkin terjadi. Begitu pula halnya dengan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Orang yang terbiasa atau orang yang kuantitas pengalaman kesehariannya lebih banyak menggunakan budaya konteks rendah, bisa tergelincir pindah area dari budaya konteks tinggi yang seharusnya ia manfaatkan ke budaya konteks rendah. Pengaruh globalisasi, terutama sekali teknologi informasi dan komunikasi, begitu kuat menggiring pejabat publik setingkat menteri sekalipun untuk mengambil ranah budaya rendah.

      Kekeliruan ini bisa jadi tidak disadari oleh pejabat publik. Namun, akibatnya bisa berdampak banyak bagi masyarakat. Dalam kasus tersebut, masyarakat dirugikan karena tidak mendapat cukup informasi yang benar dan tepat mengenai Covid-19. Kecuali pernyataan kontroversial dan kelakar, sulit ditemukan pernyataan diplomatis, bermakna, dan cukup berkualitas sebagai komunikator dari pejabat publik yang semestinya mengambil peran budaya konteks tinggi. Suatu hal yang sangat disayangkan oleh kita semua.***

Bogor, 16 April 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun