Mohon tunggu...
Eta Rahayu
Eta Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Hidup tidak membiarkan satu orangpun lolos untuk cuma jadi penonton. #dee #petir etha_tata@yahoo.com | IG: @etaaray

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamatkan Local Wisdom Indonesia

28 Februari 2014   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393555376894376055

Di masa sekarang ini kita dihadapkan pada situasi yang semakin mengerikan. Mengerikan dalam artian tidak banyak waktu tersisa untuk menghadapi pasar bebas yang sebebas-bebasnya (baca: AFTA). Yang lebih mengerikan tantangan kita kemudian bukan hanya diselingkaran negara ASEAN tetapi merambah lebih jauh lagi. Tilik saja hampir sebagian besar barang dagangan elektronik di Indonesia dirajai oleh China. Bahkan buah-buahan pun dipasaran banyak yang dipasok dari luar negeri, pun begitu pula dengan daging sapi.

Globalisasi memang bukan barang baru, James Petras mengemukakan bahwa proses globalisasi telah dimulai sejak abad ke-15. Seiring dengan perkembangan kapitalismne dan ekspansi ke negara dan daerah lain. Lambat laun globalisasi ini bukan lagi hanya bergerak dalam ranah ekonomi saja, tetapi akulturasi budaya menjadi semikin kuat. Sebut saja, Korea. Bagaimana budaya Korea menjelma menjadi budaya yang tak terelakkan bagi sebagian besar remaja kita. Media-media kita lalu menjadi sangat sibuk untuk mengabarkan budaya Korea. Ah sebenarnya memperlajari budaya asing tak jadi soal asalkan budaya kita tidak kita telantarkan begitu saja.

Memang tak bisa luput dari perhatian kita, budaya kita semakin hari semakin terkikis. Padahal budaya kita bukan hanya bisa dihitung dengan jari lhooo, dari Sabang hingga Merauke memiliki berbagai macam budaya yang kemudian kita sebut-sebut sebagai salah satu kekayaan bangsa kita. Lantas apa hanya sebatas kita akui sebagai kekayaan kita, tanpa menjaga dan melestarikannya?

Ya, jika kita bicara tentang budaya kita begitu dekat dengan local wisdom. Local wisdom atau sering disebut juga kearifan lokal didefinisikan oleh Keraf (2002) sebagai seluruh bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman/wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Pengertian lain dituturkan oleh Gobyah (2009) bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg pada suatu daerah. Mudahnya local wisdom dapat diartikan sebagai nilai yang dianggap baik dan berlangsung secara turun-temurun sehingga membudaya pada daerah tertentu.

Kembali, dengan adanya negara ASEAN (pasar bebas) atau bahkan lebih luas lagi dalam lingkup akulturasi budaya di Asia, Eropa hingga Amerika, masih mampukah kita sebagai Indonesian kita tegak berdiri untuk terus melestarikan kearifan lokal kita?

Tidak perlu meramal lebih jauh lagi, untuk melihat kondisi dilapangan sekarang ini kita tentu sudah tahu seperti apa kondisi budaya kita. Dalam website Anti-Corruption Clearing House (ACCH) KPK pernah dituliskan bahwa ketidakarifan nasional dan juga global secara membabi buta menyingkirkan kearifan lokal, sebagai contohnya yang terjadi di Dayak Kalimantan dan Papua. Kearifan lokal sudah mulai punah.

[caption id="attachment_297771" align="aligncenter" width="680" caption="image: acch.kpk.go.id"][/caption]

Tergerusnya kearifan lokal kita bukan tanpa alasan. Lifestyle menjadi salah satu sebab yang mengakibatkan lumpuhnya budaya kita sendiri. Banyak remaja yang kemudian berkata, "jaman udah modern kali!" Nah, itu masalahnya, kita tak sadar. Lalu jika kearifan lokal kita sudah mengasap apa yang akan kita banggakan diluar sana? Lebih parah lagi hal ini tentu akan dipertanyakan apakah kita memiliki nasionalisme terhadap bangsa kita sendiri jika kita tak paham local wisdom kita sendiri?

Better late than never. Saatnya kita kembali beraksi. Disinilah peran kita. Peran orang tua untuk mengajarkan putra putrinya tentang kearifan lokal di daerahnya. Peran pemuda - pemudi untuk ikut turun tangan mengkreatifkan kearifan lokal tanpa merusak maknanya. Peran kakek nenek untuk mendongeng pada para cucunya tentang budaya kita. Pemerintahpun harus kuatkan barisan untuk tetap menjaga kelestarian local wisdom ini. Jika hal ini dilakukan secara kontinyu bukan hal yang tidak mungkin bila kita mampu membumikan budaya kita di bangsa orang. Ah tidak muluk muluk dulu, bagaimana jika kita kemudian mengcover negara kita dengan budaya kita. Kita suguhi mereka yang menginjakkan kaki disini dengan pertunjukkan paling mengesankan dari budaya kita. Kita tunjukkan budaya kita mampu berakulturasi dengan arus globalisasi.

Lalu untuk yang terakhir, apakah anda siap menjadi bagian dari generasi yang menjunjung tinggi kearifan lokal daerah anda?

Salam
Surabaya, 28 Februari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun