Mohon tunggu...
Tatank
Tatank Mohon Tunggu... swasta -

Saya adalah lelaki yang sedikit nakal, namun baik hati. Tapi anda tak perlu percaya sepenuhnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kelihaian Penulis Kompasiana dan Koruptor

22 Desember 2015   18:09 Diperbarui: 22 Desember 2015   19:43 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ; http://cdn.metrotvnews.com/dynamic/content/2015/10/20/182296/V2QG7rksVv.jpg?w=668"][/caption]

Keberhasilan Menulis dan Korupsi itu pada suatu proses tertentu punya kesamaan. Keduanya tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba menuai hasil yang diharapkan.

Sudah lama saya tidak menulis. Selama ini hanya menjadi pembaca gelap. Walau punya akun, tapi hampir tak pernah login. Dalam seminggu selalu meluangkan waktu disela kesibukan untuk membaca tulisan di Kompasiana. Artikel penulis-penulis top di Kompasiana tak luput saya baca. Demikian juga sejumlah penulis pemula, terutama bila isu yang ditulisnya menarik.

Perbedaan penulis top dan pemula sangat jauh. Penulis Top mampu mengambil sudut pandang yang berbeda dari penulis lainnya. Selain itu, cara mereka mengungkapkan isu ke dalam tulisan sangat menarik dan unik. Pilihan katanya selalu enak untuk disimak. Sementara para penulis baru, seringkali 'Kalah' dalam cara penyajian, pemilihan kata dan pemilihan sudut pandang. Padahal isu yang diangkat relatif sama.

Saya perhatikan, mungkin karena penulis Top sudah sering menulis sehingga sangat paham mengolah isu dan cepat menuliskannya menjadi artikel menarik. Jarak antara isu pertama kali muncul dengan postingan artikelnya tidak lama. Namun itu tak mengurangi 'nilai' artikel dan isu yang ditulisnya.

Sementara penulis baru, akan memposting artikelnya belakangan. Setelah beberapa hari keluarnya isu. Dan itu, seringkali dengan pemilihan kata yang belum membangkitkan ketertarikan pembaca. Belum memiliki roh yang menghidupkan tulisan untuk pembaca mengunyahnya sampai selesai. Mulai dari pemilihan judul, kalimat pembuka, irama, dan kalimat penutup belum mampu menggugah emosi dan logika pembaca. Akhirnya keterbacaan artikelnya sedikit. Hits dan Vote yang didapatkannya pun sedikit.

Ada juga penulis pemula yang mampu 'belajar cepat'. Ketika masa awal dia muncul artikelnya masih kacau balau. Namun selang hitungan minggu dan bulan mengalami perubahan kemajuan yang pesat. Dia bisa mengikuti gaya artikel hits di Kompasiana dengan tetap menyertakan ciri khasnya.

Secara akun, saya relatif lama di Kompasiana. Namun soal keaktifan menulis masih nol. Saya lebih sering jadi pembaca saja. Mau menulis selalu 'terbentur' hal-hal 'mistik' yang menjadikan saya tak juga bisa menuangkan kalimat. Saya katakan 'mistis' karena tidak tahu istilah yang tepat yang menyelimuti pikiran yang penuh dengan ide, tapi tak juga tertuang baik kedalam bentuk artikel.. Draft tulisan sudah dibuat namun hanya tinggal draf, tak ada kemajuan berarti. Utak-atik tak tentu arah, akhirnya kehilangan momentum. Seringkali pusing sendiri saat mencoba menata pikiran kedalam tulisan. Ujung-ujungnya saya hanya jadi penikmat tulisan para Kompasianer saja.

Tulisan ini saya buat selama 3-4 hari. Saya utak-atik entah berapa kali. Selalu berubah. Tidak percaya diri, dan banyak hal lagi. Dengan akun yang sudah setahun, saya seperti penulis pemula lagi.

Herannya ketika saya berproses menulis artikel ini, entah mengapa saya jadi ingat koruptor yang lihay bermanuver. Mereka begitu pandai melihat peluang korupsi dan mahir berkelit dari hukum. Setya Novanto yang 'sudah jelas-jelas' bersalah di pengadilan MKD bisa lolos dan bahkan menjadi ketua fraksi. Saya pikir, apa yang dia lakukan itu bukan secara tiba-tiba pandai. Tapi sudah menjalani proses panjang menjadi mahir berkelit. Tidak mungkin bisa dilakukan oleh koruptor pemula.

Atas dasar pemikiran inilah saya mengambil 'kesimpulan konyol' bahwa penulis Kompasiana dan koruptor menjalani proses yang relatif sama. Tentunya di tempat yang berbeda suasananya. Kedua bisa mahir karena sering melakukan secara konsisten sembari menyesuaikan diri terhadap situsi di tempat masing-masing.

Bukankah begitu? Maaf kalau saya ada salah kata karena saya sedang belajar.

Terimakasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun