Mohon tunggu...
Tasya Nathania Br Ketaren
Tasya Nathania Br Ketaren Mohon Tunggu... mahasiswa kedokteran

mahasiswa kedokteran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Solo: Kota Kecil Penuh Toleransi

16 Juni 2022   22:19 Diperbarui: 16 Juni 2022   23:02 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia dikenal di mata dunia sebagai negara yang memiliki segudang keberagaman. Tentunya, kita sebagai Warga Negara Indonesia patut berbangga akan hal ini. Ya, kemajemukan yang ada sejatinya telah dijunjung sejak zaman pendahulu-pendahulu kita dan bahkan sejak sebelum negara ini merdeka. 

Adanya keanekaragaman suku, ras, budaya, etnis, dan hadirnya berbagai macam agama di negara ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri di mata warga negara asing. Indonesia dengan ciri khas multikulturalnya membuat pelancong-pelancong dari mancanegara berdecak kagum akan toleransi yang ada.

 Namun, beberapa waktu belakangan, keberagaman ini nampak menunjukkan sikap destruktifnya. Pasalnya, berita-berita di sosial media maupun televisi mulai dipenuhi dengan keluhan seputar ujaran kebencian antarumat beragama hingga larangan-larangan beribadah bagi agama tertentu. Ya, konflik-konflik itu nyata adanya dan masih terus bergulir tanpa penyelesaian yang serius. Padahal setiap agama tentu mengajarkan kedamaian.

Namun memang pengaplikasiannya pada masyarakat multikultural seperti Indonesia tidak semudah itu. Berbicara tentang keragaman beragama ingin rasanya penulis bagikan sebuah kisah inspiratif yang secara tidak sengaja penulis temukan ketika penulis mengunjungi kota serabi.

Dalam hal agama, Indonesia mengakui enam macam agama berbeda yang sama-sama dinjunjung keberadaannya. Baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu,Budha, maupun Konghuchu memiliki kodrat yang sama tinggi dan hal itu pun selaras dengan ideologi Pancasila. Kerukunan antarumat beragama ini nampak begitu nyata ketika berkunjung ke salah satu kota mungil nan apik di provinsi Jawa Tengah ; Solo. 

Ya, siapa sangka di kota serabi itu kita akan dapat banyak belajar tentang toleransi antarumat beragama. Hal itu nampak ketika penulis berkesempatan untuk mengunjungi kawasan ikonik kota Surakarta yakni Pasar Gede. Ketika itu, waktu menunjukkan pukul lima sore dan matahari masih terik-teriknya. Di bulan puasa sudah merupakan hal yang wajar jika di jam-jam itu jalanan mulai padat akan kendaraan yang lalu-lalang.

Pasalnya, selain bertepatan dengan waktu pulang kerja saat itu bertepatan juga dengan menjelang waktu buka puasa. Berbagai jenis makanan dijajakan di sepanjang jalan area Pasar Gede. Menggelitiknya, pemandangan yang indah terjadi ketika penulis tidak sengaja melihat ke arah kelenteng di pinggir kota yang nampak ramai dikerumuni masyaratnya. Anehnya, masyarakat yang berkerumun saat itu mayoritas mengenakan hijab.

Berbekal segenap keberanian dan rasa penasaran penulis pun mendekat ke arah kelenteng tersebut. Ternyata kelenteng sedang mengadakan acara bazar murah  yang menjual beraneka ragam keperluan sehari-hari dengan harga yang sangat terjanngkau. 

Tak hanya itu, pihak kelenteng pun menyediakan berbagai macam makanan ringan yang boleh dicicipi oleh siapapun tanpa syarat tertentu. Penulis pun diberi kesempatan untuk mencicipi beberapa camilan disana. Tak berhenti sampai disitu, pihak kelenteng masih membagikan sekotak makanan gratis untuk dibawa pulang.

Ternyata, acara semacam ini telah digelar selama beberapa tahun terakhir. Tak hanya di bulan Ramadhan, tak jarang acara pun diadakan di hari-hari besar lainnya seperti Paskah atau Galungan. Menyenangkan bukan?

Masih di kota yang sama, penulis kembali terperangah ketika melihat pemandangan indah saat lagi-lagi tak sengaja mengarahkan mata ke arah sebuah mushalla kecil di pinggir kota. Mushalla itu nampak hanya beberapa meter jaraknya dari bangunan gereja. Menariknya, karena jamaah di mushalla tersebut tidak sedikit pengelola seringkali menggunakan area gereja untuk beribadah.

Tak hanya itu, jamaah mushalla dengan jemaat gereja pun nampak memiliki hubungan yang begitu baik. Hal itu juga dituturkan oleh pihak pengelola bahwasanya mereka beberapa kali mengadakan acara bersama dengan pihak gereja untuk sekedar berbagi berkat atau pun bahu membahu dalam masyarakat. Hal-hal sederhana yang justru belum tentu terjadi di tempat lain ya?

Di Solo ternyata hal-hal semacam itu merupakan hal yang lumrah. Solo merayakan setiap hari raya agama dengan sama meriahnya. Ketika mendekati tahun baru imlek, misalnya. Pemerintah kota Surakarta biasanya akan mendekor area ikonik Pasar Gede dengan penuh lampion-lampion dan dominasi warna merah. 

Imlek di Solo nampak begitu dinikmati oleh masyarakat sekitarnya. Pasalnya, ketika tahun baru Imlek tiba, pemerintah daerah setempat akan menggelar pawai keliling kota dengan orang-orangnya yang seringkali membagikan makanan ataupun angpau gratis.

Ternyata, acara-acara semacam ini lebih dari sekedar sarana hiburan, melainkan sebagai suatu bentuk upaya nyata dalam menyatukan berbagai perbedaan yang ada. Ketika mendekati bulan suci Ramadhan, pemerintah daerah setempat pun melakukan hal yang sama. 

Lagi-lagi area ikonik Pasar Gede kembali dirombak sedemikian rupa hingga nuansa menjelang Hari Raya Idul Fitri begitu terasa. Biasanya, ketika Ramadhan kawasan wisata Pasar Gede akan dihiasi dengan gantungan ketupat dan dekorasi-dekorasi tambahan berwarna hijau muda. Sungguh perpaduan yang apik.

Toleransi yang begitu tinggi juga nampak ketika Hari Raya Nyepi. Pasalnya, jika teman-teman pernah berada di Solo ketika Hari Raya Nyepi tentu  teman-teman akan menemukan suatu hal yang unik sepanjang hari itu. Di Hari Raya Nyepi, masjid-masjid di Kota Surakarta biasanya akan mengumandangkan azan dengan volume yang sangat kecil. 

Ya, meskipun penganut agama Hindu di kota itu tidak terhitung banyak namun  kebebasan beribadahnya tetap dijunjung tinggi.

Tentu di tengah perpecahan yang sedang terjadi dimana-mana, hal-hal semacam ini patut untuk dibagikan, dilestarikan, dicontoh dan tentunya diberi acungan jempol. Membangun toleransi antarumat beragama di masyarakat yang majemuk memang bukan merupakan perkara mudah, namun jika kita mau membuka mata sejatinya masih banyak sekali manusia-manusia baik yang bersedia mengulurkan tangan tanpa menghiraukan perbedaan yang ada.

 Multikulturalisme sejatinya bukan merupakan sarana untuk saling menjatuhkan, sebaliknya multikulturalisme hadir untuk menunjukkan sikap toleransi, saling menghargai dan  menghormati perbedaan.

Penulis berharap cerita singkat yang penulis bagikan di atas tidak hanya  sebatas menjadi cerita. Lebih dari itu, terbersit harapan penulis bahwa tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi bagi masyarakat secara umum namun khususnya pemerintah daerah untuk mencontoh hal-hal baik yang dilestarikan di Kota Surakarta sebagai salah satu upaya untuk mendongkrak toleransi. Salam keberagaman!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun