Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sistem Kepemimpinan Partai Politik Berandil Memelihara Sistem Kepemimpinan Penjajah

24 Februari 2021   21:28 Diperbarui: 24 Februari 2021   22:01 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat Daerah Terperangkap Dalam Sistem Kepemimpinan Penjajahan Karena Fungsi Partai Politiknya

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Negeri kita memang negeri yang masyarakatnya dipelihara sebagai alat untuk mencukupkan syarat bagi keutuhan suatu bangsa dan establistnya keberadaan suatu negara.

Kita akui atau tidak sistem kepemimpinan kita dalam masyarakat masih didominasi oleh sistem kepemimpinan feodal. Mungkin saja karena kita sebagai suatu bangsa yang terlalu lama dalam penjajahan bangsa asing lainnya.

350 tahun atau 3,5 abad adalah waktu yang begitu panjang bahkan dalam usia negara tergolong sebagai usia yang tua, lihat saja negara-negara maju di dunia usianya ada yang masih berkisar antara 200 sampai dengan 300 tahun. Sementara negara Indonesia bahkan belum sampai 100 tahun yang merdekanya pada tahun 1945.

Dengan usia yang masih di bawah 100 tahun maka terlalu muda sebagai bangsa merdeka bahkan butuh waktu 250 tahun lagi untuk menemui titik equilibrium atau perbandingannya dengan masa-masa dijajah.


Oleh karena itulah saya bisa berkesimpulan bahwa bangsa ini masih diwarnai oleh peninggalan sistem kepemimpinan penjajahan, buktinya apa?

Manajemen sosial masyarakat kita masih dipimpin oleh para Tuan Takur sebagaimana begawan pesuruh penjajah dimasa lalu. Mereka terdiri dari orang kaya, pemuka agama dan budaya. Masyarakat akan ikut arahan mereka terlepas arahan itu benar atau salah.

Lihat saja warga masyarakat bangsa lain yang lebih maju dan tingkat kesejahteraannya jauh lebih baik berbeda dengan sistem kehidupan bermasyarakat di kita. Sebagai contoh, warga masyarakat kita masih berorientasi pada simbol-simbol status sosial dan derajatnya. Ketika melaksanakan ibadah haji maka warga masyarakat akan menyandang status Haji untuk alat meninggikan derajatnya.

Padahal kualitas ibadah dan kataatan mereka ada di tangan Tuhan, sementara pada masyarakat kita dengan simbol gelar Haji maka semua perkataannya dianggap menjadi bahagian dari fatwa disuatu tempat. Mereka juga menjadi salah satu alat penundukan masyarakat yang efektif dalam kehidupan masyarakat kita.

Begitu juga dengan pendidikan dimana warga masyarakat masih mengejar titel dan membanggakan dirinya dengan sejumlah titelnya sehingga masyarakat justru akan tunduk pada orang tersebut karena gelarnya. Padahal orientasinya salah kaprah, sehingga orang yang mampu dalam suatu ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas ditundukkan dengan titel seseorang yang belum tentu kapasitas pengetahuannya memadai. Maka di masyarakat negara maju gelar pendidikan bukan suatu ukuran selama seseorang tidak mampu berbuat dengan keilmuannya. Berbuat apa?

Nah,,,,disini butuh pemahaman lagi, karena tentu banyak berpikir tentang wujud karya pendidikan dengan nilai barang atau materialistik. Padahal para pelaku pendidikan itu dapat memberi keterangan dan pemahaman kepada masyarakat luas juga adalah karya. Menyampaikan melalui tulisannya juga karya, menyampaikan melalui pidatonya juga karya dan berbagai macam bentuk hasil karya seseorang dalam mencerahkan masyarakat. Itulah karya yang juga menjadi bahagian dari karya politik, mereka tidak perlu mengangkat balok atau batu atau membagi sesuatu kepada masyarakat barulah dianggap kerja dalam politik. Ha ha ha,,,,,,

Karena pekerjaan politik salah diartikan maka yang dianggap seseorang mampu dalam politik adalah mereka yang mampu membagi sembako kepada masyarakat. Ini justru aneh dalam pandangan ilmu politik yang sesungguhnya. Meski masyarakat sangat membutuhkan maka seharusnya pekerjaan-pekerjaan politik yang normatif seharusnya dipahami oleh masyarakat. Lalu apa yang harus dilakukan?

Tentu saja masyarakat dapat mengorbankan setengah dari pelaku pekerja politik yang sesungguhnya jika dalam suatu pemilihan rakyat, sedangkan setengah lainnya mestinya masyarakat butuh konsisten sehingga mereka bisa menempatkan orang-orang yang memang memiliki ilmu pengetahuan untuk merubah nasib dan masa depan mereka. Atau dapat saja masyarakat ingin melakukan perubahan secara total yakni bersikap memilih anti sogok menyogok dan memastikan mereka yang melakukan itu sebagai musuh masyarakat yang sebenarnya. Jika tidak demikian maka selamanya masyarakat akan terpelosok dalam kubang ketertinggalannya.

Kenapa demikian? Tentu saja karena para politisi yang mendominasi sebagai pejabat publik adalah dari partai politik. Prilaku mereka dalam memimpin partai politik dan mengangkat kadernya menjadi pemimpin rakyat dan tokoh masyarakat bukan mengajarkan ajaran politik yang berorientasi pada ilmu politik tetapi dengan membangun kecenderungan korup yang akhirnya sama dengan pemikiran rata-rata masyarakat dalam politik, karena merekalah yang menjadi pendidik politik rakyat.

Bagaimana maksudnya? Politik di masyarakat kita berorientasi pada besaran pengorbanan seseorang yang diartikulasikan dengan besaran biaya yang dikeluarkan untuk membantu masyarakat baik dengan sembako, kebutuhan lain yang dianggap sakral, misalnya rumah kaum dhuafa, membantu pengobatan masyarakat miskin, cacat dan anak terlantar serta membantu tempat ibadah. Hal ini berkembang menjadi issu politik yang formasinya seperti pola kerja Robinhood, yang seakan telah hadir penyelamat rakyat.

Jika bukan pola kerja Robinhood yang merampok kemudian membaginya kepada masyarakat dan karena keikhlasannya membantu, tentu saja setelah terpilih menjadi pemimpin daerah mereka akan terbuka dalam pengelolaan keuangan daerah baik dalam bentuk proyek maupun anggaran kerja cash money. Jika mereka taat atau alim mereka membantu masyarakat maka sudah pasti dalam bentuk sedekah dalam hatinya yang paling dalam. Karena sesungguhnya sebagai politisi mereka harus menahan diri untuk tidak melakukan bantuan yang mengarah pada sogokan atau bantuan berkompensasi suara masyarakat.

Realitanya bagaimana? Sebahagian besar mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah mengeluarkan biaya yang besar bahkan dengan bantuan atau pinjaman bayar bila menang pengusaha pemilik modal besar yang memberi bantuan dana dimana kemudian paket proyek pemda wajib diserahkan kepada mereka dalam persentase misalnya 25, 50 bahkan 75 persen. Karena itulah para pengusaha daerah yang tidak berkontribusi atau bermain judi dengan pilkada harus gigit jari dalam pemenangan tendernya.

Jika ilustrasinya sebagaimana saya sampaikan diatas, maka yang menjadi pertanyaan adalah :

Pertama, Apakah pemimpin daerah yang terpilih mengutamakan pembangunan dan pensejahteraan rakyatnya sebagaimana tujuan bernegara?

Kedua, Karena semua calon dari partai politik, apakah partai politik berfungsi secara benar dalam pembangunan rakyat?

Ketiga, Karena kontestannya partai politik meskipun calonnya warga masyarakat, apakah partai politik mengajarkan politik rakyat yang normal atau mereka hanya sebatas tengkulak suara masyarakat?

Keempat, Dengan kepala daerah harus membayar kewajibannya kepada pemilik modal maka menurut anda kepala daerah itu sebagai agen suara rakyat atau pemimpin rakyat?

Kelima, Dengan sistem pemilihan yang korup tersebut, keuntungan pemilik modal atas uang daerah dan negara, maka kontraktor daerah yang masyarakat lokal, apakah mereka dapat tumbuh secara profesional?

Keenam, Kepala Daerah yang pekerjaannya dengan sistem bekerja kepada pemilik modal, apakah kesenjangan sosial dapat diminimalisir?

Ketujuh, Kebijakan Partai politik dengan menunjuk pemimpin cabangnya sebatas kriteria orang berada dengan uang negara, apakah sudah tepat untuk merubah kondisi rakyat?

Meski kita tampilkan hanya tujuh pertanyaan namun ada seribu pertanyaan yang harus dijawab masyarakat untuk merubah masa depannya, dan melakukan pembagunan yang terarah serta tidak salah kaprah. Namun ilustrasi tersebut akan menjawab, kenapa kesejahteraan masyarakat daerah terpuruk dalam kemiskinan padahal kepala daerahnya berganti silih berganti dari berbagai model.

Selama mereka tidak memahami kunci dasar membangun rakyat maka selamanya masyarakat akan terperangkap dalam lingkaran setan.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun