Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tujuh Bahaya bagi Rakyat, Pimpinan Pusat Partai Politik Menunjuk Ketua Wilayah dan Daerah

27 November 2020   13:24 Diperbarui: 4 Desember 2020   01:46 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

(Tulisan ini untuk kajian bagi kepentingan politik rakyat, tentang  dampak Pimpinan Pusat Partai Politik yang mengambil alih (merampas) hak anggota (kader daerah) untuk menunjuk Ketua Wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota). Penting, jangan dianggap remeh bagi pembangunan rakyat dalam politik dan berdampak disegala bidang kehidupannya.

Partai politik di Indonesia sejak memasuki era reformasi yang dimulai dengan amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 dan seterusnya, seyogianya berjalan stabil sesuai tuntutan rakyat terhadap perubahan bangsa dan negara ini.

Berjalan stabil dimaksud adalah tentang sikap dan kebijakannya mengikuti arah pembangunan baru Indonesia yang berorientasi pada penguatan hak-hak politik rakyat Indonesia secara demokratis.

Idealnya semua partai politik membuat mekanisme penyelenggaraan musyawarah segenap tingkatan dengan peraturan partai yang menjadi landasan hukum rakyat berpartai politik. Jika hal ini berjalan secara benar maka tidak ada warga masyarakat yang merasa dirugikan, di dhalimi dan mendapat perlakuan tidak adil dalam hidupnya berpartai politik di negara ini.

Lalu, apa hasil produksi (output)  kebijakan partai politik yang menafikan musyawarah anggota?

Pertama, Secara mutlak partai politik tersebut hanya menghasilkan suatu konspirasi total (a total conspiracy). Kekuasaan akan berada ditangan kelompok dan kelanjutannya partai politik tersebut dengan sendirinya akan membangun begawan-begawan politik, pemilik-pemilik saham partai politik yang membolehkan dan tidak membolehkan warga negara lain memperoleh hak politiknya bahkan partai politik itu akan terpimpin dengan mata suka dan tidak suka terhadap kadernya yang berasal dari rakyat.

Hal ini bertentangan dengan semangat perubahan dimasa reformasi yang menegaskan dengan amandemen UUD 1945 agar hak-hak politik rakyat menjadi prioritas dalam bernegara. 

Dengan kata lain partai politik yang nekat menempuh kebijakan tersebut tidak berbeda dengan berjalan mundur kebelakang dalam kepemimpinan politik yang kembali pada sistem kepemimpinan otoriter dimana kemudian menimbulkan people power untuk mengakhiri kepemimpinan model tersebut. 

Tahapan lanjutannya lahirlah partai-partai baru dimasa reformasi yang digagas oleh pendirinya dengan ideology baru bagi ajaran politik rakyat Indonesia yang mengedepankan aturan dan budaya demokrasi dalam kehidupannya.

Partai lama seperti Golkar, PPP dan PDIP menjadi tersudut dan terpaksa menjadi bunglon untuk membuat perubahan sebagaimana kecenderungan tuntutan politik sosial saat itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun